

Petruk Dadi Ratu
/ Literatur
Para kesatria lupa diri dan gila dunia. Saat itulah, Petruk hadir mengubah tatanan.
M. Syaid Akbar
Pendidik. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Waktu menunjukkan pukul 01.15. Meski telah dini hari, entah mengapa, mata saya sulit terpejam. Pikiran saya melayang dan mengembara kembali ke masa-masa dua dekade lalu, saat saya masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ketika itu, rutinitas saya pada dini hari sering kali terisi dengan mendengarkan wayang kulit atau dagelan dari radio.
Meskipun samar-samar, saya teringat satu lakon wayang berjudul ‘Petruk Dadi ratu’. Begini kira-kira kisahnya. Dalam Mahabharata versi Jawa, ada sebuah cerita tentang seorang Sudra yang menjadi raja (madeg dadi ratu). Si Sudra itu bernama Petruk.
Petruk merupakan salah satu karakter dari empat tokoh Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Punakawan digambarkan sebagai empat tokoh jelata yang dinisbatkan sebagai pembimbing (pamomong) para kesatria utama.
Punakawan bukanlah sosok sembarangan. Dalam manifestasi yang sesungguhnya, mereka adalah para dewa yang ditugaskan untuk membimbing para raja dan kesatria Pandawa. Sementara Pandawa dalam Mahabharata diposisikan sebagai tokoh atau kelompok protagonis.
Dalam sebuah lakon, Kerajaan Amarta ditimpa bencana. Para kesatria sedang gila dunia. Mereka melupakan tugas atau darma kesatria yang menjadi kewajibannya. Mereka lupa diri. Mereka yang berkwajiban menjaga dan mengelola kerajaan dengan baik dan benar, justru sedang menghancurkannya secara perlahan. Banyak kebijakan yang dilaksanakan serampangan dan tidak memenuhi nilai keadilan.
Kondisi ini tentu sangatlah tidak ideal. Namun, apa mau dikata. Tidak ada yang berani melawan, karena para kesatria terkenal sakti mandraguna, pilih tanding, dan pemegang kuasa. Rakyat jualah yang pada akhirnya menanggung beban berat akibat khilafnya para kesatria penjaga kerajaan.
Dikisahkan, terjadilah huru-hara hilangnya pusaka Amarta yang dicuri oleh utusan Kerajaan Imanimantaka yang menyamar sebagai Gatotkaca. Dalam kekacauan itu, Petruk berhasil menyelamatkan pusaka kerajaan bernama Jamus Kalimasada. Sebuah pusaka Amarta yang sakti tiada tara. Oleh karena Petruk memegang pusaka tersebut maka ia pun berubah menjadi sosok yang sakti mandraguna. Petruk mendadak menjadi pribadi yang ampuh dan kuat tak tertandingi.
Dalam perenungannya, Petruk yang sudah tidak tahan melihat kelupadirian para bendara (tuan—red) pun mengambil kesempatan untuk mengambil alih posisi. Ia mendeklarasikan diri sebagai raja, kemudian melawan semua penguasa yang ada.
Petruk melawan sistem dan status quo yang menyesakkan dadanya. Para senapati dan raja di berbagai kerajaan pun ia taklukkan, tak terkecuali Amarta yang dikuasai para kesatria Pandawa. Mereka semua dimasukkan ke dalam penjara dengan keadaan terikat dan tak berdaya. Sungguh Petruk luar biasa.
Di dalam kepemimpinan Sang Prabu Petruk, maharaja yang bergelar Prabu Welgeduwel Beh atau Prabu Kantong Bolong itu lantas bertindak semaunya. Aturan-aturan banyak yang diubah. Sepertinya ia menganggap aturan-aturan lama merupakan aturan yang tidak relevan dan tidak berguna lagi bagi perkembangan kerajaan. Petruk yang telah lama memendam kekesalan kepada para bendara merasa perlu mengubah tatanan yang tengah berlangsung.
Namun, perlu diingat kembali bahwa semua itu adalah pesti (lakon) yang harus terjadi. Ibarat nubuwah, setiap kejadian harus tergenapi, sehingga fenomena Petruk di dalam dunia pewayangan haruslah terjadi, karena memang itulah kehendak Dewa, Sang Penguasa Skenario Alam Semesta.
Kembali ke cerita, pada akhirnya para raja dan kesatria sadar bahwa mereka telah lupa diri, meninggalkan tugas dan kewajiban sebagai penjaga negeri, meninggalkan darma dan asyik masyuk atas dunia, meninggalkan spiritualitas, dan mengukur semua hal dengan materi. Mereka akhirnya sadar, namun tidak tahu bagaimana cara untuk kembali pada posisinya.
Alkisah hanya ada satu orang yang bisa membadarkan (baca: membatalkan) kekuasaan sang raja Petruk. Dialah Semar Sang Hyang Manikmaya, Sang Badranaya, dan ayah dari Petruk sendiri. Semarlah yang mengetahui titik lemah Petruk. Semar pun menyadarkan kembali hakikat tugas Petruk sebagai Punakawan, yakni abdi yang mengiringi bendara atau pengiring tuan.
Dengan kembalinya kesadaran para kesatria Pandawa maka cukuplah sudah peran Petruk yang seakan sedang melakukan gugat atas perilaku semena-mena para bendara atau pepunden atau juragan.
Di dalam masyarakat kontemporer, hakikat Petruk adalah rakyat yang berdaulat. Ia bisa begitu superpower ketika para pemimpin berperilaku tidak selayaknya.
Semoga kisah ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua, apa pun posisi kita. Mari tetap berjalan di atas jalan kewajaran, jalan ideal yang telah digariskan oleh sang Pemberi Kehidupan. Salam bahagia untuk kita semua.