Gunung Kunci Kartasura, simbol eksistensi Keraton Kartasura yang masih dapat dijumpai. (Kecamatan Kartasura)
Gunung Kunci Kartasura dalam Khazanah Dua Babad : Gunung Kunci Kartasura, simbol eksistensi Keraton Kartasura yang masih dapat dijumpai. (Kecamatan Kartasura)
Gunung Kunci Kartasura, simbol eksistensi Keraton Kartasura yang masih dapat dijumpai. (Kecamatan Kartasura)

Gunung Kunci Kartasura dalam Khazanah Dua Babad

/ Literatur

Baik Babad Tanah Jawi maupun Babad Kartasura mengisahkan Gunung Kunci sebagai tempat istimewa di Kartasura.


Dj. Respati
Founder Kartasura Library


Kota Kartasura terletak di dataran rendah dengan ketinggian 121 meter di atas permukaaan laut. Uniknya, kota ini memiliki dua gunung yang sangat terkenal, yakni Gunung Pare dan Gunung Kunci. Bila Anda terlahir setelah tahun 2000, kemungkinan besar Anda tak begitu mengenal kedua gunung itu bahkan warga Kartasura sendiri.

Meski disebut gunung, kedua tempat tersebut bukanlah gunung dalam artian yang sebenarnya, sebagaimana Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Baik Gunung Pare maupun Gunung Kunci hanyalah gundukan tanah setinggi kurang lebih 20 meter hingga menyerupai bukit dan menjadi bagian dari sebuah taman yang dibangun oleh Susuhunan Mataram di Kartasura pada masanya.

Gunung Pare terletak di Desa Wirogunan dan berjarak sekira satu kilometer dari pusat Kota Kartasura. Bila Anda melewati jalan utama nasional, yakni Jalan Ahmad Yani yang membelah Kartasura sisi utara dan selatan, Gunung Pare berada di wilayah utara.

Awalnya, lokasi Gunung Pare adalah pemakaman Tionghoa dan sempat menjadi lokalisasi. Sebelum diubah menjadi terminal pada tahun 2005, di tempat ini terdapat gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau rimbun dan pohon mahoni. Sejak dibangunnya Terminal Kartasura, semua itu telah diratakan.

Sementara Gunung Kunci terletak di sebelah tenggara Keraton Kartasura, tepatnya sebelah selatan Kampung Keputren. Dahulu, Keputren adalah tempat tinggal para putri keraton.

Lokasi Gunung Kunci sangat mudah diakses dari arah mana pun. Apabila Anda dari arah timur (Kota Solo), atau barat (Semarang), atau utara (Karanganyar) lalu masuk ke Kartasura melalui Jalan Slamet Riyadi, Anda akan menjumpai Masjid Jami Ash-Shoffa di selatan jalan. Masuklah ke Jalan Madugiri. Untuk sampai ke Gunung Kunci, teruslah lurus ke selatan sekria satu kilometer.

Apabila dari arah selatan (Jogja), Anda bisa melewati jalur utama, yakni Solo-Jogja, kemudian masuk ke Kartasura. Sebelum Tugu Kartasura, tepatny  perempatan lampu merah, berbeloklah ke kanan dan Anda akan bersua Masjid Ash-Shoffa.

Gunung Kunci dalam Babad Tanah Jawi

Gunung Kunci disebut dalam Babad Tanah Jawi. Ketika itu, Gunung Kunci terletak di dalam keraton, tepatnya, Benteng Baluwarti, dilengkapi dengan Kolam Segaran. Segaran berasal dari kata segara yang berarti lautan, sehingga dapat diartikan sebagai kolam yang menyerupai lautan. Pembangunan Segaran bersamaan dengan pembangunan kolam di sisi barat daya Keraton Kartasura yang difungsikan sebagai tanggul.

Sumber air yang mengisi kolam Segaran berasal dari Cokro Tulung Klaten yang dibuatkan gorong-gorong kemudian ditampung dulu—dalam arti tidak langsung dialirkan—melalui sungai kecil, lantas dialirkan ke Segaran. Daerah Tanggul, sekarang termasuk wilayah Desa Pucangan, sementara sungai kecil yang mengalirkan air ke Segaran berubah menjadi jalan.

Kolam Segaran sekarang telah berubah fungsi menjadi lapangan sepak bola. Menurut cerita kakek saya, tanah lapang yang menjadi lapangan ini dahulunya berupa tanah datar yang digali hingga berbentuk kolam besar, disebut Segaran. Sementara tanah galian ditumpuk di sebelah baratnya hingga menyerupai bukit, sehingga disebut Gunung Kunci.

Menurut cerita rakyat turun-temurun, tujuan pembangunan Gunung Kunci sebagai tempat meditasi, namun ada juga yang berpendapat, sebagai tempat untuk bersantai keluarga keraton. Kolam Segaran serta akses yang dekat dengan keputren menjadi fakta argumentatif tempat ini lebih tepat dijadikan sebagai tempat rekreasi, pelepas penat para keluarga keraton, dan tempat Sinuhun dan istri bersantai atau enggar-enggar penggalih.  

Selain itu, Segaran merupakan simbol pembersihan diri atau menyucikan diri, sebelum naik ke bukit. Bukit menjadi simbol pemusatan kekuatan spiritual, sehingga pada puncak bukit dahulu bukanlah makam, namun tempat meditasi atau sembahyang.

Dengan menempatkan bukit yang berdampingan dengan segaran menjadi simbol konsep spiritual dalam pembuatan taman Gunung Kunci. Pasangan bukit dan air, atau gunung dan laut, menjadi simbol spiritual yang populer dalam budaya di Indonesia, khususnya Jawa.

Secara kasat mata, terutama bagi orang-orang yang hidup di masa sekarang, Gunung Kunci tak lebih sebuah bukit buatan berupa gundukan tanah setinggi kurang lebih 20 meter dengan luas areal sekira 500 meter persegi. Di atasnya terdapat makam yang dikeramatkan. Tidak jelas makam siapa, namun bisa dipastikan, masih terkait dengan keluarga Keraton Kartasura.

Pada era 1980-an Gunung Kunci masih sering dijadikan tempat bermain bagi anak-anak. Pada waktu itu, kondisi lereng-lerengnya masih rata dan belum banyak tumbuhan maupun rumput ilalang dan semak belukar. Pada sisi timur dan utara acap kali dijadikan arena perosotan dari puncak ke bawah. Dengan memanfaatkan serabut kelapa sebagai tempat duduk lalu kedua kaki diangkat, kemudian didorong sedikit, dan meluncurlah ke bawah.

Semua kegembiraan itu harus berhenti. Karena, pada suatu waktu, saat bermain di sana, ada seorang anak yang tiba-tiba kesurupan, tanpa jelas alasannya. Usai kejadian itu, muncullah berbagai analisis liar yang menghubung-hubungkannya dengan alam gaib dan sejarah Keraton Kartasura.

Gunung Kunci dalam Babad Kartasura

Sementara menurut Babad Kartasura sedikit diungkap keberadaan Gunung Kunci, Sigra minggah Jeng Ratu Pakubuwana dhateng ing Gunung Kunci. Pangeran Blitar prapta ing Purbayan, ngidul sawadya lumaris, kang ibu miyat ngawe sarwi anangis.

Dalam Babad Kartasura secara teks menampilkan eksistensi Gunung Kunci. Ketika itu, pasukan Kablitaran yang dipimpin Pangeran Blitar bertempur melawan Sunan Amangkurat IV, penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC Belanda. Pangeran Blitar adalah adik dari Amangkurat IV.  

Pasukan Kablitaran maju menerjang pertahanan Kompeni. Namun, prajurit Kompeni memuntahkan peluru-peluru hingga membabat habis barisan depan pasukan Kablitaran dan banyak yang gugur. Terjadilah kekacauan hingga Pangeran Blitar sendiri pun panik.

Mendengar kedatangan Pangeran Blitar dengan pasukanya, hati Kanjeng Ratu Ageng, sangat kebingungan. Ia menangis sejadi-jadinya, tak tahan menyaksikan pertengkaran keluarga itu. Permaisuri almarhum Pakubuwono I dan ibu dari Amangkurat IV dan Pangeran Blitar tersebut pun segera menuju Gunung Kunci.

Sesampainya di puncak Gunung Kunci, sambil menangis, tangan kanan Kanjenge Ratu Ageng melambai-lambai dan menyeru kepada Pangeran Blitar untuk tidak panik, karena Kompeni tidak akan mengejar dan menangkapnya. Kumpeni hanya naik ke Siti Hinggil untuk menyiapkan meriam. Kanjeng Ratu juga berseru kepada Pangeran Blitar untuk lekas mencari perlindungan kepada adiknya, yakni Pangeran Purbaya.

Tampak bahwa Gunung Kunci dahulunya dapat difungsikan pula sebagai ‘menara pengintai’ untuk mengawasi situasi keamanan keraton, terutama wilayah keputren tempat tinggal para putri. Fungsi keamanan dan pertahanan menjadi hal utama dan esensial, sementara fungsi rekreasi merupakan suatu hal pasti yang mudah dicerna dan dilihat secara kasat mata oleh publik.

Sebagian orang bertutur, dulunya Gunung Kunci banyak ditanami kunci, sejenis empon-empon untuk memasak. Lazim pada masa itu untuk memberi nama wilayah berdasarkan tanaman dominan yang ada. Di sekitar Gunung Kunci, ada Kampung Manggisan, Sedahromo, dan Sayuran.

Frasa ‘kunci’ dapat bermakna pula konsep, gagasan, atau hal penting yang digunakan untuk mencari atau membuka suatu hal. Kehadiran Gunung Kunci tidak semata tempat rekreasi, bersenang-senang atau istirahat, merilekskan pikiran dari kesuntukan dan kepenatan semata. Namun, titik strategis penentuan berbagai kebijakan kunci Keraton Kartasura pada masa kejayaannya.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik