

Peradaban Islam Era Super Smart Society
/ Opini
Wawan Kardiyanto
Akademisi ISI Surakarta
Laju roda peradaban selalu dimenangkan oleh mereka yang tidak berhenti menggali dan mengembangkan kemampuan akalnya. Mereka yang akalnya tersumbat dipastikan akan menjadi sampah sejarah.
Akal adalah kepanjangan yang bersifat cahaya (nûrâni) dari alam gaib ke alam nyata. Akal adalah bagian terpenting dari ruh, dan merupakan entitas paling terang dan paling bersinar dari eksistensi manusia. Akal adalah pemisah antara yang haq dan batil.[1]
Simaklah, misalnya, otoritas karya keilmuan ulama Salafus Shalih yang dinisbahkan kepada sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ulama-ulama mazhab yang sangat kaya memberikan fondasi sumber khazanah keilmuan Islam, khususnya di bidang teologi. Banyak kalangan bahkan beranggapan bahwa mainstream keilmuan mereka tak tertandingi dan paripurna.
Sementara itu, ulama-ulama abad pertengahan pada zaman keemasan (golden age) kekhilafahan juga memberikan sumbangan keilmuan yang luar biasa, khususnya di bidang sains, filsafat Islam, ilmu sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi fondasi kuat revolusi peradaban Barat saat ini. Khazanah keilmuan pengetahuan tersebut tidak diwariskan kepada umat Islam. Peradaban Barat bisa maju, karena mereka menggali, mentransfer, dan mewarisinya.
Pada awal tahun 1980-an, peradaban Islam mulai menggeliat dengan ikon kebangkitan Islam. Namun, setelah Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet, Dunia Islam yang sedang menggelorakan kebangkitan Islam, tercabik-cabik oleh fitnah ganas, dengan diciptakannya monster pemecah belah umat Islam yang mengerikan, yaitu dimunculkannya paham terekstrem dalam ideologi Islam, Khawarij.
Ideologi Khawarij pernah meluluhlantakkan peradaban Islam di masa Khulafaur Rasyidin. Saat ini, ideologi itu menjamur dan mengganas, dengan menyebarkan virus perpecahan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia.
Ideologi Khawarij datang kembali dengan memunculkan slogan-slogan ‘takfiri’, semisal ‘kelompokku yang paling benar’, ‘demokrasi adalah thogut’, maraknya politik identitas dengan memunculkan simbol-simbol yang paling mencintai Sunnah Rasul dan paling murni menjalankan perintah Al-Quran dan hadits, serta meneriakkan penegakan kembali Khilafah Islamiyah.
Virus ganas itu kini sudah berada pada stadium warning di negeri NKRI yang kita warisi dan cintai ini. Virus yang tanpa disadari telah mencuci otak umat Islam, sejak pasca-Reformasi. Selama 25 tahun mereka bergerilya, tanpa kita waspadai. Profil umat Islam Indonesia yang mayoritas masih ‘abangan’, sangat rentan dipengaruhi ideologi Khawarij.
Era Society 5.0
Bagaimana dengan peradaban Islam kini, pada masa Society 5.0? Sebuah zaman ketika teknologi dan manusia tidak lagi dapat dipisahkan. Peranan manusia yang dominan atas teknologi didambakan dapat mengubah kesenjangan dan ketidakadilan menjadi tatanan dunia yang jauh lebih baik dan beradab.
Apabila kaum Muslimin sekarang merasa rendah diri dan tak mampu sehebat generasi pendahulunya, bukanlah itu suatu wujud ‘kejumudan’ berpikir yang dapat mengakibatkan tidak berkembang dan majunya peradaban Islam?
Smart society berharap mampu menciptakan keseimbangan antara manusia, alam, dan teknologi. Gerak perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraan orang per orang. Umat Islam haruslah siap dan adaptif menghadapi setiap perubahan. Peradaban Islam berarti sebuah cita-cita tinggi agar tidak terombang-ambing oleh arus perubahan.
Janganlah kita jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Sungguh kerugian yang nyata bila kita jatuh ke lubang yang sama.
Ulama khalaf (kontemporer) harus secepatnya merevolusi dan mendekonstruksi mainstream Islam klasik abad ke-7 yang tidak lagi sinergi dengan abad ke-21, khususnya dalam tafsir-tafsir budaya, peradaban, sains, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Pada zaman Industri 4.0 yang bersenyawa dengan Society 5.0, sebaiknya umat Islam berpola pikir luas untuk kerja masa depan.
[1] M. Fethullah Gulen. 2013. Membangun Peradaban Kita. Jakarta: Republika Penerbit. h. 101.