

'Soft Landing' Merujuk Kitab Pararaton
/ Literatur
Suksesi pergantian kepemimpinan nasional tidak selalu berakhir pada konflik.
M. Syaid Akbar
Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta
Akhir-akhir ini, saya sering menyimak obrolan-obrolan para kreator konten di channel YouTube yang asyik membahas perjalanan peradaban Nusantara, dilihat dari sudut pandang spiritual. Narasumber yang dihadirkan adalah tokoh-tokoh spiritual yang notabene para pelaku spiritualis berberpatok pada kearifan-kearifan lokal.
Menarik. Sebuah hal yang relatif baru bagi saya. Tibalah pada satu titik pembahasan tentang kejayaan leluhur Nusantara. Orientasi atau pun era yang sering disebut yakni era peradaban dengan timeline abad ke-4 hingga 15 M, sejak zaman Kutai Martapura sampai dengan Majapahit. Dalam pandangan saya, pembahasan ini sungguh serius. Kejayaan yang mana?
Sedikit merujuk proses perjalanan sebuah dinasti Kerajaan Tumapel pada abad ke-13 M. Tumapel awalnya sebuah kabupaten atau bagian wilayah dari kerajaan Kadiri yang dipimpin seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Bagi para pemerhati sejarah, kisah tersebut telah begitu sering didengar.
Kisah perjalanan seorang Sudra bernama Ken Arok yang melenting menjadi sosok penting bahkan pendiri Wangsa Rajasa, sebuah dinasti Singhasari atau Singasari, meski nama sebenarnya adalah Tumapel (Prasasti Kudadu 1294 M) dengan ibu kota Kutaraja. Nama ibu kota itu pada masa Raja Kertanegara diubah menjadi Singhasari hingga lebih terkenal sebagai nama kerajaan ketimbang Tumapel.
Sejak berdirinya, Tumapel berselimut peristiwa berdarah. Dikisahkan, Ken Arok mengambil paksa wilayah Tumapel dari Tunggul Ametung. Arok menyingkirkan sang akuwu dengan senjata keris yang sangat populer, ciptaan Empu Gandring. Arok lantas mengangkat dirinya sebagai akuwu Tumapel, kemudian memisahkan diri dari Kerajaan Kadiri. Ia menjadikan dirinya raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Saya mencoba berfokus pada peristiwa awal kudeta yang dilakukan Ken Arok. Peristiwa yang dapat menjadi preseden buruk, karena setiap suksesi kepemimpinan di Singasari selalu berlumuran darah. Ketika itu, tidak ada raja yang bisa tidur dengan tenang dan nyaman.
Ken Arok mengakhiri Tunggul Ametung. Anak Tunggul Ametung, Anusapati, melakukan aksi pembalasan dengan menghabisi Ken Arok. Anusapati dihentikan oleh anak dari Ken Arok dan Ken Umang, Tohjaya. Tohjaya disudahi oleh Ranggawuni atau Wisnuwardhana, cucu Tunggul Ametung, anak dari Anusapati. Semua aksi berdarah tersebut melibatkan senjata yang sama, keris ciptaan Empu Gandring.
Kitab Pararaton menyebut, terjadi rekonsiliasi antara Wisnuwardhana dan cucu Ken Arok, Mahisa Campaka, atau dikenal dengan nama Narasinghamurti. Ada semacam pembagian kewenangan pada era ini. Wisnuwardhana berperan sebagai raja, sementara Mahisa Campaka memegang otoritas militer.
Sebagai panglima tentara, Mahisa Campaka bisa saja menggerakkan pasukannya untuk menggulingkan sang raja. Namun, hal tersebut tidak dilakukannya. Masa ini mengakhiri lingkaran dendam berdarah yang selalu menghantui setiap suksesi kepemimpinan Tumapel. Suksesi berdarah, dalam pandangan saya, bukanlah sebuah peradaban unggul yang layak disebut sebagai sebuah kejayaan.
Merajut Visi Besar
Pada catatan Pararaton selanjutnya dimaktubkan bahwa Wisnuwardhana lantas mengangkat putranya bernama Kertanegara sebagai Yuaraja atau putra mahkota yang disiapkan untuk menggantikannya ketika memasuki Wanaphrastha, yakni tingkat kehidupan ketiga di mana seseorang berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian.
Kehidupan pada masa wanaphrastha berarti pengabdian pada pengamalan dharma. Sang raja telah tua dan turun tahta, lantas pergi ke gunung untuk bertapa, lengser keprabon madeg pandito, mendalami sipritualisme.
Proses suksesi pun berjalan mulus. Wisnuwardhana digantikan Kertanegara tanpa konflik berarti. Apa dampaknya ? Tentu stabilitas politik dalam negeri, modal penting untuk mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa.
Pada masa Kertanegara inilah Singhasari mulai berpandangan keluar dengan keberhasilan Ekspedisi Pamalayu, menaklukkan Melayu dan Bali. Salah satu gambaran betapa sang raja mempunyai visi yang besar. Sebuah visi yang hanya bisa lahir oleh pemimpin di mana situasi dalam negeri telah dapat dikendalikan.
Mari becermin dari kisah-kisah suksesi Tumapel, merujuk Kitab Pararaton. Bahwa rekonsiliasi adalah modal penting perpolitikan sebuah bangsa. Lingkaran dendam bisa diputus dengan kesepakatan satu tujuan utama, yaitu kemaslahatan bangsa dan tercapainya kejayaan bangsa.
Tumapel mengajarkan kepada kita proses pergantian kepemimpinan yang sarat nilai peradaban, dari proses suksesi raja yang selalu berdarah-darah menuju suksesi yang lebih beradab. Kita pun bisa.
-