

Lebih Bijaklah Menggunakan Uang Digital
/ Bisnis
Semakin tingginya peredaran uang digital ternyata justru melebarkan ketimpangan ekonomi.
Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Surakarta Daily
Moneter sering kali dianggap sebagai topik eksklusif yang hanya bisa dibahas oleh segelintir orang di level tertentu. Sementara di warung kopi, obrolan lebih berkutat pada isu-isu politik atau sosial. Bila pun ada ruang untuk membicarakan ekonomi, biasanya tentang dunia usaha di sektor riil, usaha mikro kecil, mahalnya harga sembako, atau minimnya lapangan pekerjaan.
Namun, mari berdiskusi ke ranah yang lebih sederhana dan mengundang tanya banyak orang, mengapa uang kartal, yakni uang fisik seperti kertas dan koin, semakin langka, sementara nilainya justru terus menurun?
Secara teori, ketika permintaan terhadap uang tinggi dan suplai terbatas, nilai uang seharusnya meningkat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Apakah ini sebuah anomali? Lantas ke mana sebenarnya aliran uang yang seharusnya berlimpah itu?
Saya yakin, jumlah uang yang beredar saat ini maha-banyak. Indikator yang paling jelas adalah nilai uang yang semakin turun. Dulu, dengan uang Rp100 ribu, seseorang bisa berbelanja cukup banyak, seperti membeli kebutuhan sehari-hari, makan di luar, bahkan masih ada sisa untuk ongkos. Namun sekarang, nominal sebesar itu mungkin hanya cukup untuk membeli beberapa bahan pokok atau sekali makan di restoran biasa. Intinya, semakin banyak beredar maka uang semakin tak bernilai.
Mengamati kecenderungan sekarang, tampaknya banyak negara mengalami tekanan inflasi serupa. Contoh di Venezuela dan Argentina, hiperinflasi telah membuat mata uang mereka kehilangan sebagian besar nilainya. Di Zimbabwe, pada puncak krisis inflasi, untuk membeli sebutir telur saja, mereka harus membawa tidak hanya segepok, tapi segerobak uang.
Fenomena itu menunjukkan betapa berbahayanya uang beredar terlalu banyak tanpa didukung oleh pertumbuhan ekonomi seimbang. Inflasi yang berdampak pada daya beli juga merupakan indikasi bahwa jumlah uang yang beredar di masyarakat telah melebihi kapasitas produksi barang dan jasa yang tersedia. Hal ini menyebabkan nilai uang menurun, sementara harga barang terus merangkak naik.
Banjir Uang Digital
Di sisi lain, uang digital semakin membanjiri kehidupan perekonomian kita. Masyarakat kini ditawari berbagai fasilitas, mulai dari pinjaman online (pinjol) hingga judi online (judol), yang kian marak di dunia digital. Fasilitas pay later tak kalah gencar ditawarkan dan memungkinkan masyarakat untuk membeli barang atau jasa sekarang, lantas membayarnya kemudian.
Kemudahan bertransaksi secara digital turut mendorong masyarakat untuk lebih boros dalam penggunaan uang. Sementara itu, uang kartal atau uang tunai semakin langka beredar, terutama setelah pandemi Covid-19 yang mempercepat tren digitalisasi keuangan.
Fasilitas pay later, e-wallet, dan berbagai layanan keuangan digital lain bukan hanya mempermudah transaksi, tetapi juga mengubah cara uang beredar dalam ekonomi. Apakah dari sini uang ‘dicetak’? Sebenarnya, uang yang dibuat dalam bentuk utang memang berbeda dari uang kartal biasa. Ketika masyarakat menggunakan fasilitas seperti pay later, mereka pada dasarnya menciptakan utang baru, dan hal inilah yang memicu peredaran uang digital di pasar.
Bank sentral mencetak uang, tetapi proses ini tidak selalu berarti uang fisik. Ketika masyarakat berutang melalui bank atau lembaga keuangan, uang yang digunakan adalah ‘uang kredit’ dalam arti, uang yang tercipta dari utang.
Bank sentral, dalam hal ini Bank Indonesia, melalui kebijakan moneternya, memberikan likuiditas kepada bank-bank untuk memenuhi kebutuhan kredit tersebut. Jadi, semakin tinggi permintaan kredit, semakin banyak ‘uang’ yang beredar di sistem ekonomi, meskipun dalam bentuk digital atau kredit.
Disparitas yang Mengkhawatirkan
Di era digital kini, fasilitas pay later dan e-wallet telah menjadi instrumen baru yang memungkinkan ekspansi moneter tanpa perlu mencetak uang fisik. Uang yang ‘dicetak’ melalui skema utang digital ini tidak hanya melibatkan kartu kredit, tetapi juga berbagai bentuk utang lainnya, seperti pinjaman online (pinjol) dan layanan pay later. Selanutnya, terciptalah lingkungan di mana uang digital dapat beredar dengan cepat, meski pada saat yang sama menambah beban utang masyarakat.
Sejak Indonesia merdeka, beban utang negara terus bertambah. Utang yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan menstabilkan ekonomi secara langsung memengaruhi kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral. Bank sentral tidak hanya berperan sebagai pencetak uang, tetapi juga sebagai pengatur likuiditas dalam perekonomian.
Dengan beban utang negara yang besar, pemerintah sering kali harus mengeluarkan obligasi atau surat utang yang kemudian dibeli oleh bank sentral atau investor lainnya. Sebuah bentuk lain dari ‘pencetakan uang’ di mana uang baru masuk ke dalam sistem ekonomi melalui utang yang dimiliki oleh negara. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menekan nilai tukar mata uang dan mendorong inflasi jika tidak dikelola dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, beban utang negara yang terus meningkat tidak hanya membentuk kebijakan ekonomi, tetapi juga memengaruhi bank sentral dalam hal pencetakan uang. Ketergantungan pada utang sebagai sumber pembiayaan berpotensi melemahkan stabilitas moneter, yang pada akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional.
Dari sinilah sebenarnya uang mulai dicetak secara besar-besaran, sementara kita yang bekerja keras setiap hari hanya mendapatkan sisa-sisa dari sistem yang sudah semakin terfokus pada sirkulasi uang digital dan utang. Jika dahulu ada istilah trickle-down effect yang menjanjikan bahwa kekayaan dari puncak piramida akan menetes ke bawah dan mengalir ke seluruh lapisan masyarakat, sekarang kita menghadapi realitas yang berbeda.
Dalam dunia saat ini, aliran uang digital yang dihasilkan melalui berbagai skema utang justru memperbesar ketimpangan. Uang yang beredar di dunia digital tidak selalu mengalir ke masyarakat umum, melainkan sering kali hanya memperkaya mereka yang berada di puncak rantai keuangan. Kita yang bekerja keras mungkin hanya mendapatkan sisa-sisa dari sistem ekonomi yang semakin kompleks dan tidak merata.
Karena itu, penting bagi kita untuk lebih memahami dinamika ekonomi ini dan mengambil langkah-langkah cerdas dalam mengelola keuangan pribadi. Kesadaran finansial dan literasi yang lebih baik menjadi kunci untuk bertahan di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, kita bisa mengambil keputusan yang lebih bijak dan menjaga stabilitas keuangan pribadi di tengah ketidakpastian ekonomi yang ada.
Editor: Rahma Frida