

Akhir Tragis Sang Raja
/ Literatur
Kejahatan tetaplah kejahatan, walau begitu lihai terlindungi, hingga semesta datang menghukum.
Dj. Respati Pamungkas
Founder Kartasura Library
Pemberontak Trunajaya akhirnya berhasil menembus benteng pertahanan terakhir Sang Raja. Bangsawan Madura yang didukung oleh Laskar Makassar pelarian keturunan Gowa pimpinan Karaeng Galesong tersebut menduduki dan menghancurkan Keraton Plered, ibu kota Kasultanan Mataram.
Para menteri, senapati, dan putra sentana tak mampu melawannya. Sang Raja, Amangkurat I, dipaksa meninggalkan Istana dengan membawa serta harta benda emas, intan, dan berlian serta benda-benda pusaka berharga. Sang Raja meninggalkan Istana ditemani para pengikut setia serta putra-putrinya dan beberapa istri.
Menurut Hermanus Johannes de Graaf, tak ada halangan apa pun, termasuk pasukan Trunajaya, saat raja dan rombongannya meninggalkan Keraton Plered. Babad Tanah Jawi mengisahkan sang raja yang dikejar oleh Dandang Wacana, namun tak terkejar.
Deretan peristiwa politik itulah yang akhirnya menjadi titik balik kehidupan Sang Raja. Kehidupan yang berbalik 180 derajat. Dari raja yang berkuasa penuh menjadi pelarian politik yang penuh kesengsaraan. Dari kondisi yang dihormati menjadi kehinaan. Dari pujian tinggi menjadi direndahkan. Dari kesenangan nan penuh suka cita dan riang tawa menjadi keterpurukan. Kesepian pun melintasi perasaannya.
Babad Tanah Jawi mencatat, Sang Raja keluar dari Istana dengan mengendarai gajah menuju arah barat. Namun, urung dilakukan. Berdasarkan laporan telik sandi, jalur itu telah diblokade pihak musuh. Rombongan lantas berbelok ke selatan dan singgah di Imogiri untuk berziarah ke makam para leluhur. Menurut De Graaf, tujuan Sang Raja ke Imogiri untuk mengkonsolidasikan sisa-sisa pengikut setianya serta mengumpulkan kebutuhan bekal dalam pelarian.
Setibanya di Imogiri, kondisi putra raja, Raden Goude atau Raden Aria Gede, kian parah. Sejak keluar dari Plered, ia memang telah sakit. Dengan terpaksa, ia ditinggalkan di Imogiri bersama ibunya, salah satu garwa ampil Sang Raja atau istri selir.
Rombongan lantas melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi Sungai Progo. Raja sesekali menoleh ke belakang dan menatap jauh. Ingatannya melayang pada putranya, Raden Aria Gede.
Sepanjang perjalanan, wajahnya tampak tidak tenang. Raut wajahnya gelisah. Selalu timbul rasa khawatir dan was-was, kalau-kalau pasukan Trunajaya akan mengejar dan menangkapnya. Perasaan cemas, seolah-olah di belakangnya ada yang menguntit. Karena itulah jalannya terlihat kemerungsung tergesa-gesa, yang akhirnya membuat Sang Raja harus ditandu.
Rombongan Sang Raja terkadang memasuki kawasan dengan sembunyi-sembunyi, melewati jalur-jalur khusus yang masih penuh rintangan, untuk menghindari kejaran Trunajaya serta agar tak diketahui oleh mata-mata musuh.
Menurut Babad Tanah Jawi dan diperkuat laporan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sejak Sang Raja meninggalkan Istana dan hidup dalam pelarian, sepanjang jalan tak ada rakyat yang mendekat, menyapa, apalagi menyambut. Rakyat tampak sudah muak dengan segala kebijakan dan perilaku Sang Raja.
Saat berkuasa, ia dikenal otoriter, kejam, bengis, sewenang-wenang, dan berdarah dingin. Wajar bila rakyat menjauh dan enggan memberi bantuan kepada Sang Raja. Rakyat yang melihatnya hanya menatap dengan dingin, terkadang mengumpat, meludah, dan tak jarang memberi doa kutukan.
Dalam suatu perjalanan, tepatnya di Dusun Karanganyar wilayah Bagelen, rombongan Sang Raja bahkan dibegal. Terjadi kekacauan. Isak tangis dan jeritan para perempuan terdengar nyaring. Sang Raja kemudian memerintahkan para abdi untuk menyebar uang agar aksi para begal berhenti. Namun tidak disangka, begitu uang didapat, para begal kembali berulah. Sang Raja pun murka. Ia mengerahkan kesaktiannya dan mengutuk para begal hingga terdiam kaku, tak dapat bergerak.
Asa Merebut Kembali Kekuasaan
Dalam perjalanan, Sang Raja senantiasa menelan ludah. Ia masih sangat berambisi untuk merebut kekuasaannya kembali dari Trunajaya. Walau hidup dalam pelarian dan kejaran musuh, Sang Raja masih mengingat Kraton Plered dan Kasultanan Mataram. Karena itu, jalan satu-satunya tak lain meminta bantuan VOC. Ketika berkuasa hubungan Sang Raja dan VOC begitu baik.
Setibanya di Dusun Ajibarang rombongan beristirahat sejenak. Saat itulah Sang Raja memerintahkan Adipati Anom, Raden Mas Rahmat, untuk merebut kembali Mataram. Perintah itu ditolaknya, dengan alasan ingin selalu menemani Ayahanda.
Perintah bergeser ke adik Raden Rahmat, yakni Pangeran Puger. Ia menyanggupinya. Sang Raja membekalinya dengan pusaka Kiai Ageng Keris Mahesa Nular dan tombak Kiai Plered. Setelah bersujud memohon restu, Pangeran Puger bergerak cepat kembali ke Mataram. Ia ditemani Pangeran Singasari dan Pangeran Martasana. Sementara Sang Raja melanjutkan perjalanan menuju ke Jakarta hendak menemui VOC.
Perjalanan nan berat melelahkan, kurang makanan, serta hati yang gelisah membuat kondisi Sang Raja semakin hari kian memburuk. Ketika menginjak Dusun Pasiraman, ia jatuh sakit. Menurut Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1678-1681, Rijcklof Van Goens, Sang Raja menderita muntah darah.
Kondisi kulitnya penuh bercak. Sebuah gejala medis yang dimungkinkan sebagai infeksi tropis gastritis akut. Tubuh Sang Raja juga terkena penyakit disentri yang menggerogoti usus, diare parah, dehidrasi, dan menampakkan halusinasi.
Sebagaimana digambarkan dalam Babad Tanah Jawi, Sang Raja acap kali mengalami mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh arwah-arwah manusia yang telah ia bunuh dengan sadis dan keji, tanpa bukti dan proses pengadilan.
Arwah-arwah itu hadir dalam mimpi-mimpi malam Sang Raja dan saling bertanya bersahutan, mengapa mereka dibunuh. Arwah para Tumenggung, Pangeran Pekik mertuanya, para selir, para ulama, serta Pangeran Alit dan pengikutnya, tak henti-henti hadir dalam tidur Sang Raja.
Setiap kali bangun dari mimpi-mimpi itu, jantungnya berdebar hebat. Ia menggigil. Muncul keringat dingin, rasa sedih berlebihan, ketakutan, dan perasaan tak berguna. Para ahli supranatural Keraton menyebut sebagai ‘serangan gaib’ berupa bisikan-bisikan dari para leluhur yang menagih janji dan pertanggungjawaban atas amanah yang diembannya selama berkuasa.
Pelarian nan penuh rasa galau, cemas, ketakutan, dan kecamuk depresi dalam jiwa, sakit Sang Raja kian parah. Hidupnya merana dan ajal kematian begitu mendekat. Menurut Babad Tanah Jawi dan Francois Valentijn, dalam kondisi penuh kesakitan, kematiannya dipercepat oleh Putra Mahkota yakni Raden Mas Rahmat. Ia menaburkan racun dalam air kelapa muda yang diminta Ayahandanya.
Sang Raja tampaknya memiliki firasat, kalau air kelapa muda itu sudah diberi racun oleh putranya. Meski demikian, ia tetap meminumnya. Dengan begitu, kondisinya semakin menyedihkan.
Ia berkata, “Matur nuwun, Thole. Saya sudah tahu kehendakmu bahwa engkau berharap, saya segera mati. Dulu sewaktu engkau diperintah untuk merebut kembali Mataram, tidak mau, dengan alasan punya niat hidup dan mati tetap di sisi Ayah. Tidak mau berpisah dengan ayah untuk menemani selalu dalam pelarian. Akan tetapi kehendakmu seperti ini.”
Sang Raja merasa dikhianati oleh putranya sendiri. Diyakini bahwa pemberontakan Trunajaya bermula dari ajakan Raden Mas Rahmat.
Sang Raja kembali berujar, “Le, ketahuilah bahwa kelak kamu sendiri yang mati. Setelah itu, anak cucumu tak akan pernah merasakan kemujuran dan kamu bersama anak cucumu tidak saya izinkan ziarah di makam atau pekuburanku.”
Dalam detik-detik yang menegangkan, penuh isak tangis dan haru, Sang Raja kembali berwasiat, “Le, ajalku sudah dekat. Mintalah bantuan kepada VOC. Ajaklah untuk membalas dendam pada Trunajaya dan kawan kawan yang telah membuat negeri Mataram porak-poranda dan rusak parah. Laksanakan titahku ini dengan sungguh-sungguh. Siapa pun anak cucuku kelak yang mau bersekutu dengan VOC akan menang dalam perang. Terimalah pusaka-pusakaku ini. Wajib kamu miliki, karena engkau putraku paling tua dan wajib menggantikan.”
Kejahatan Tetap Kejahatan
Dalam catatan Pemerintah Kolonial Belanda dan laporan harian VOC, menjelang ajal, Sang Raja menyampaikan tiga hal penting. Pertama, penyesalan atas kekejamanan masa lalunya saat berkuasa. Kedua, harapannya agar Raden Mas Rahmat mau memerintah dengan bijak. Ketiga, jenazahnya dimakamkan secara layak di Imogiri.
Menurut Babad Tanah Jawa, sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Sang Raja Amangkurat I memiliki permintaan agar dimakamkan berdekatan dengan gurunya di sebuah tanah yang tinggi dan bila dicium, tanahnya wangi semerbak.
“Apabila tanahnya berbau harum, di situlah jenazahku dimakamkan,” ujar Sang Raja.
Karena tanah makam yang berbau harum, daerah itu lalu disebut Tegalarum. Pasarean Tegalarum atau Pemakaman Tegalarum berlokasi di Dusun Pakuncen, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Lokasi dimakamkannya jasad Sang Raja.
Sementara versi Belanda menyatakan kondisi keamananlah yang tidak memungkinkan untuk membawa jenazah Sang Raja ke Imogiri. Pasukan Trunajaya dan Laskar Madura masih tersebar dan memantau keadaan di wilayah Timur.
Cerita rakyat yang beredar menyebut bahwa arwah para leluhur Mataram menolak kehadiran Sang Raja di Imogiri, karena dosa-dosa politik selama berkuasa terlampau besar serta tidak bisa dimaafkan. Sebuah harga yang harus dibayar oleh Sang Raja.
Kejahatan dan kekejaman Sang Raja Amangkurat I memang tak pernah diadili, apalagi mendapat hukuman. Pihak yang berwewenang tak pernah sedikit pun menyentil hal itu. Namun, kejahatan tetaplah kejahatan. Lingkungan sosial dan alam semestalah yang mengambil alih penghukuman di akhir hanyat Sang Raja yang sangat menyedihkan nan tragis.
Mangkatnya Sang Raja memunculkan era baru Mataram dari Plered ke Kartasura yang sebelumnya telah diprediksi oleh Pangeran Pekik dalam Babad Alas Wanakerta.
Editor: Rahma Frida