Bupati Boyolali, Agus Irawan, mengecek ketersediaan barang di gerai sembako KDMP Sumbung, Cepogo. Senin (21/7/2025). (Pemkab Boyolali)
Simfoni Demokrasi Lokal, Bukan Resentralisasi : Bupati Boyolali, Agus Irawan, mengecek ketersediaan barang di gerai sembako KDMP Sumbung, Cepogo. Senin (21/7/2025). (Pemkab Boyolali)
Bupati Boyolali, Agus Irawan, mengecek ketersediaan barang di gerai sembako KDMP Sumbung, Cepogo. Senin (21/7/2025). (Pemkab Boyolali)

Simfoni Demokrasi Lokal, Bukan Resentralisasi

Sebelas program unggulan Pemerintah Pusat telah semestinya melibatkan elemen masyarakat lokal.


Nyuwardi
Komisioner KPU Kabupaten Boyolali

 

Satu per satu, berbagai program unggulan pemerintah mulai dijalankan. Bagi Kabupaten Boyolali, awal tahun 2025, Makan Bergizi Gratis (MBG) diuji-cobakan di Gagaksipat, Ngemplak. Sebulanan berlalu, untuk menyambut Program Tiga Juta Rumah, PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA), kabarnya telah menyediakan tanah seluas 11 Ha di Kota Susu.

Memasuki Juni 2025, Pemerintah Kabupaten Boyolali menyiapkan lahan seluas 5 Ha di Kemiri, Mojosongo, untuk Program Sekolah Rakyat. Selanjutnya, pada Juli 2025, Koperasi Merah Putih Sumbung, Cepogo, resmi beroperasi, bersamaan dengan peluncuran secara nasional oleh Presiden Prabowo Subianto.

Program unggulan yang tengah diupayakan pemerintah terasa kental nilai-nilai kerakyatannya. Negara benar-benar hendak dihadirkan di ranah paling fundamental rakyat banyak. Negara bergerak atas dasar Konstitusi yang menjamin rupaneka hak warga negara, serta tak membiarkan melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi.

Menilik urgensi yang sebegitu besar, Pemerintah Pusat lantas mengerahkan segala sumber daya untuk menjemput kesuksesan program unggulan. Termasuk Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Kota, Pemerintah Kabupaten, maupun Pemerintah Provinsi, tak ketinggalan mendukung program unggulan. Kepemimpinan nasional lantas bersinergi dengan kepemimpinan daerah demi rakyat Indonesia yang lebih unggul dan sejahtera.

Selain praktiknya tak semudah rencana, relasi Pemerintah Pusat dan daerah kini seperti menemui fase dinamika baru. Realisasi program unggulan yang memang membutuhkan dukungan luar biasa besar dari semua sektor tersebut pada akhirnya menyiratkan ‘sentralisasi’ peran pemerintahan kembali ke pusat. Sederhananya, kalau Pemerintah Pusat tak turun langsung, program unggulan terancam gagal.

Dominasi Pemerintah Pusat atas program unggulan pada praktiknya dapat menurunkan bahkan menghilangkan daya tawar Pemerintah Daerah. Sekian dekade upaya untuk mendesentralisasi kekuasaan dan kewenangan pusat berdasarkan ketimpangan yang ada sekarang potensial mengarah kepada resentralisasi. Sebuah kondisi terkini yang membutuhkan diskursus mendalam, tentang siklus kewenangan dan kekuasaan yang bisa saja kembali tersentralisasi oleh Pemerintah pusat.

Dalam buku berjudul Memahami Desentralisasi Indonesia karya Muhammad Noor, Annisa Wahyuni Arsyad, Gilang Wilmantara, dan Awal Hamzi Safarudin terbitan PT Star Digital Publishing Yogyakarta tahun 2025, dijelaskan bahwa desentralisasi dan good governance adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sementara good governance mensyaratkan kepemimpinan formal yang cakap.

Noor dan kawan-kawan menulis, sedari desentralisasi diterapkan pada tahun 1999, persoalan demi persoalan terus bermunculan. Banyak daerah kesulitan mengelola kewenangan yang diberikan, terutama pengawasan, kapasitas administrasi, dan pengelolaan anggaran. Walhasil, pemerintahan yang lebih efisien dan responsif masih jauh panggang dari api.

Implementasi desentralisasi senyatanya mengharuskan kapasitas dan sumberdaya mumpuni, bukan semata kewenangan. Desentralisasi juga bukan hanya tentang administrasi, tetapi juga komitmen politik dan pengelolaan yang efisien. Dengan begitu, desentralisasi dapat membuka kesempatan peningkatan kualitas layanan publik, berkurangnya ketimpangan, serta tumbuhnya partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan.  

Tidak optimalnya implementasi desentralisasi, ditambah dengan urgensi program unggulan Pemerintah Prabowo-Gibran, mau tidak mau, bermuara pada pengaturan kewenangan yang cenderung kembali bergerak ke pusat. Terlebih penggelontoran alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang begitu besar sungguh membutuhkan monitoring memadai.

Praktik Demokrasi Lokal

Desentralisasi tak mungkin mengabaikan praktik demokrasi lokal. Ejawantah demokrasi lokal yang paling mudah dipahami, yakni penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, baik itu Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih pemimpin daerah mereka masing-masing.

Pilkada perdana digelar pada tahun 2005. Sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sekian waktu itu pula ujian demi ujian mendera republik. Muhtar Haboddin dalam karyanya berjudul Dinamika Pilkada dan Demokrasi Lokal di Indonesia terbitan UB Press tahun 2016 berpandangan bahwa Pilkada di Indonesia begitu prosedural, hingga kepala daerah yang terpilih tidak selalu sesuai harapan.

Muhtar menilai, tidak semua pemimpin yang dilahirkan Pilkada bisa diandalkan dan memiliki keberpihakan kepada konstituennya. Sebagian dari mereka bahkan terjebak dalam lingkaran korupsi, sedangkan sebagian lainnya tenggelam dalam rutinitas kerja dengan hasil yang tak kunjung tampak. Sisanya, ada kepala daerah hasil Pilkada yang benar-benar memiliki keberpihakan kepada masyarakat pemilihnya.

Sementara keberpihakan kepala daerah kepada elektoralnya, tulis Muhtar, sangat dianjurkan dalam logika politik demokrasi. Pemerintah daerah sering kali menelurkan kebijakan populis bernapas pendek demi pencapaian kesejahteraan warga, atau dapat disebut sebagai ‘politik kesejahteraan’. Kontrol atas kesejahteraan tersebut menjadi kapital penting dalam mempertahankan kekuasaan di daerah.

Lebih jauh, Muhtar menjelaskan, selain politik kesejahteraan, sebagian pemimpin politik lokal menggunakan politik uang atau pun kekerasan politik untuk mendapatkan kekuasaan. Akumulasi dari pemberitaan negatif tentang serba-serbi Pilkada serta pemimpin yang dihasilkannya membuat khalayak kian hari kian ragu pada praktik demokrasi lokal dalam wajah Pilkada.  

Bagaimana dengan penyelenggaraan Pilkada Boyolali tahun 2024? Sejumlah 710.093 orang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, atau mencapai 85,37 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jumlah ini sedikit berbeda dengan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boyolali, yakni sebanyak 709.735 pemilih, atau 85,32 persen dari DPT.

Kembali merujuk pada tulisan Muhtar, capaian persentase partisipasi pemilih pada Pilkada Boyolali 2024 tersebut mengukuhkan kontribusi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Boyolali demi proses kontestasi kepemimpinan daerah yang berjalan dengan baik, akuntabel, jujur, adil, dan demokratis.

Muhtar menandaskan, legitimasi dan legalitas hasil Pilkada sangat diperlukan bagi pemerintah terpilih maupun penyelenggara Pilkada. Tidak hanya itu, legitimasi dan legalitas hasil Pilkada merupakan fondasi bagi pemimpin lokal dalam membangun pemerintahan daerah yang kuat dan kokoh.

Potensi Resentralisasi

Menilik dinamika demokrasi lokal di satu sisi, lantas urgensi program unggulan Pemerintah Pusat di sisi lain menyisakan kekhawatiran munculnya resentralisasi. Posisi tawar Pemerintah Daerah terkesan memudar, lantaran sifat program unggulan yang benar-benar mendesak dan utama. Adaptasi masing-masing pihak dalam wujud sinergi dan kolaborasi tak lagi dapat dihindari.

Salah satu penyedia Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk Kabupaten Boyolali, yakni Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di  Kelipan, Gagaksipat, Ngemplak, dikelola Wong Solo Group. Penyedia adalah mitra swasta yang ditunjuk oleh Badan Gizi Nasional (BGN).

Dapur SPPG menghasilkan 6.000 paket MBG per hari dengan biaya operasional yang tak sedikit, sekira Rp250 juta per hari. Angka yang terbilang besar itu, termasuk peralatan dapur yang higienis. Pihak Wong Solo Group bahkan harus memberi talangan modal operasional selama dua hingga tiga minggu pertama mencapai belasan miliar rupiah.

Selanjutnya, program Tiga Juta Rumah yang dikelola PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA). Perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta Selatan ini memiliki, mengembangkan, dan mengelola sejumlah aset serta entitas di berbagai wilayah Indonesia, dengan fokus kuat pada sektor properti.

PT Sanurhasta Mitra Tbk memperluas usahanya melalui PT Sanurhasta Griya, entitas afiliasi yang bergerak di bidang konstruksi dan pengembangan real estate dengan fokus pengembangan perumahan subsidi, atau disebut FLPP, sebagai bentuk dukungan terhadap program perumahan terjangkau yang digagas pemerintah Indonesia.

Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) adalah program subsidi pembiayaan perumahan yang diberikan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah membeli rumah dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi.

Proyek perdana PT Sanurhasta Griya berlokasi di Boyolali. Manajemen menargetkan pembangunan lebih dari 1.000 unit rumah subsidi di atas lahan seluas 11 Ha. Untuk menyukseskan program, dibutuhkan sumber daya yang sangatlah besar, lebih dari sekadar permodalan.

Pemerintah Kabupaten Boyolali juga berkomitmen mendukung program Sekolah Rakyat yang menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak keluarga miskin dan miskin ekstrem. Pemkab telah menyiapkan dan menghibahkan lahan seluas 5 Ha di Kemiri, Mojosongo. Pada perkembangannya, Kementerian Sosial menyarankan perluasan lahan menjadi 8,5 Ha.

Untuk Sekolah Rakyat, pembangunan gedung, fasilitas, dan operasional sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Sekolah Rakyat nantinya berbasis asrama dari jenjang SD hingga SMA, lengkap dengan fasilitas seragam, makanan, buku, pemeriksaan kesehatan, serta kurikulum nasional yang diperkaya pendidikan karakter dan keterampilan vokasional.

Belum lama, tentang Koperasi Desa Merah Putih. Dari 261 desa dan 6 kelurahan di Kabupaten Boyolali yang memiliki koperasi berbadan hukum, baru Koperasi Desa Sumbung, Cepogo, yang telah siap beroperasi dengan tujuh unit usaha wajib, yakni gerai sembako, apotek, klinik, kantor koperasi, gerai simpan pinjam, gerai gudang dan logistik, serta usaha lain.

Meski telah dinyatakan layak beroperasi, Koperasi Desa Sumbung masih membutuhkan tambahan modal dan variasi produk dagangan. Artinya, langkah-langkah besar masih dinantikan warga Boyolali dari kiprah Koperasi Desa Merah Putih. Tidak mudah mengkonsolidasikan jejaring bisnis kerakyatan dalam satu payung, kecuali rasa senasib sepenanggungan serta kepemimpinan yang representatif dan dicintai.

Berangkat dari sekian program unggulan Pemerintah Pusat yang telah dijalankan di Kabupaten Boyolali, tampak jelas perlunya dukungan dari berbagai pihak demi kesuksesan program. Dukungan yang tidak mungkin hanya berasal dari Pemerintah Pusat. Namun, karena program unggulan yang telah dicanangkan dan harus berhasil, bukan tidak mungkin proporsi kontribusi Pemerintah Pusat akan sangat dominan, lalu posisi tawar Pemerintah Kabupaten Boyolali pun menurun drastis.

Potensi resentralisasi yang membayang-bayangi praktik demokrasi lokal melalui implementasi program unggulan Pemerintah Pusat tidak dapat dipandang sebelah mata. Apa pun alasannya, sentralisasi pembangunan daerah terbukti telah gagal memahami kebutuhan dasar masyarakat lokal Untuk itu, sebelas program unggulan itu semestinya melibatkan elemen masyarakat lokal agar distributif. Syaratnya, optimalisasi sumber daya lokal yang layak.

Simfoni demokrasi lokal saatnya teralun. Orkestrasi kebijakan dan partisipasi warga Boyolali saatnya berpadu padan agar resentralisasi tidak terjadi. Orkestrasi yang membutuhkan kejelian pembacaan potensi dan sinergi berbagai kelompok masyarakat. Orkestrasi yang tak melulu mengatasnamakan kelompok tertentu. Orkestrasi Satu Boyolali.

Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik