Joko Priyono sebagai pembicara Bimtek Literasi Informasi Dispersip Kabupaten Klaten. (Ario Akbar Tanjung)
Setiap Orang Adalah Humas : Joko Priyono sebagai pembicara Bimtek Literasi Informasi Dispersip Kabupaten Klaten. (Ario Akbar Tanjung)
Joko Priyono sebagai pembicara Bimtek Literasi Informasi Dispersip Kabupaten Klaten. (Ario Akbar Tanjung)

Setiap Orang Adalah Humas

Buatlah konten atau tulisan yang menginspirasi kebaikan.


Joko Priyono
Kepala Seksi Komunikasi dan Diseminasi Informasi
Sub-Koordinator Layanan Informasi dan Statistik
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Klaten

 

Dalam karyanya berjudul Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives, seorang penulis futuris asal Amerika Serikat bernama John Naisbitt mengemukakan beberapa fenomena global yang kian hari kian terasa nyata.

Pertama, berkembang pesatnya teknologi mampu mengubah hampir semua cara hidup dan berkehidupan manusia. Efeknya, manusia kian anti-sosial. Kedua, dunia kian terhubung. Batas geografis antar-negara pun hanya tergaris di atas peta. Kemajuan teknologi informasi membuat manusia seolah tinggal di sebuah ‘desa global’.

Ketiga, meningkatnya ketergantungan pada sumber daya manusia di tengah kemajuan teknologi. Makin maju dan berkembang teknologi, kebutuhan pada peran manusia justru semakin tinggi. Keempat, kerja sama antar-negara adalah sebuah keniscayaan. Kelima, meningkatnya kompleksitas dunia bisnis dan politik.

Siapa sangka, ramalan Naisbitt itu sekarang terwakili oleh efek fenomena global. Salah satunya, era kehidupan post-truth. Sebuah kondisi banjir informasi yang menyebabkan benar dan salah terlihat abu-abu. Manusia masa kini tenggelam dalam informasi, tapi lapar ilmu pengetahuan. Banjir informasi tak selalu sebanding dengan keluhuran pekerti.

Ketergantungan kepada kemudahan dan teknologi membuat hati manusia rapuh serta mudah ambyar bak kaca jatuh ke lantai pecah berserak, karena tidak tangguh menanggung beban. Di sana-sini muncul fenomena lazim, seperti generasi menunduk yang sibuk dengan gawai mereka masing-masing, berikut perilaku anti-sosial, malas bergerak (mager), serta permasalahan sosial lain.

Realitas era digital berimplikasi pada pembentukan struktur sosial baru dalam konteks budaya. Pertukaran pesan, cerita, opini, unggahan  dan video melalui saluran pada jalur telekomunikasi sering kali memunculkan misinformasi, disinformasi, dan miskomunikasi.

Misinformasi yakni informasi yang keliru. Orang yang menyebarkannya percaya bahwa itu benar. Menurut The Debunking Handbook 2020, misinformasi disebarkan karena kesalahan atau tanpa maksud untuk menyesatkan. Secara teknis itu benar, tetapi menyesatkan, karena si penyebar tidak tahu fakta terbarunya atau keliru menangkap informasi.

Disinformasi adalah informasi yang keliru, dan orang yang menyebarkannya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap menyebarkannya. Disinformasi merupakan kebohongan yang disengaja dan secara aktif diinformasikan oleh aktor jahat.

Sementara miskomunikasi artinya kesalahan atau ketidakpahaman antara dua atau lebih orang dalam suatu interaksi sosial atau percakapan. Miskomunikasi bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti perbedaan bahasa, budaya, persepsi, atau interpretasi.

Memahami Undang-Undang ITE

Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menggemparkan publik kali pertama saat kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada 2008. Beberapa kasus lain, misalnya Baiq Nuril di Mataram pada 2018, Irma Nasution di Makassar pada 2019, serta Bima Yudho Saputro dan Lina Mukherjee pada 2023.

Perundangan yang penting diketahui khalayak seputar ITE, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

Ada lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Undang-undang ini merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tujuannya, menjaga ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.

Pelanggaran terhadap UU ITE dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Berikut penjelasan unsur-unsur bunyi Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024. Pertama, ‘menyiarkan’ termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik.

Kedua, ‘mendistribusikan’ adalah mengirimkan dan atau menyebarkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Ketiga, ‘mentransmisikan’ adalah mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik.

Keempat, ‘membuat dapat diakses’ adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan
dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

Kelima, ‘melanggar kesusilaan’ adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).

Keenam, ‘diketahui umum’ adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.

Selanjutnya, Pasal 28, berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain, sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Makna Literasi Digital

Untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, dibutuhkan kecakapan dalam menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab. Pesan literasi digital haruslah bermanfaat dan positif, tidak melanggar hukum, berbudaya, serta beretika.

Jangan pernah iseng bermedia. Tujuannya pun harus jelas, misal demi bekerja, silaturahmi, dan mencari ilmu. Bermedia itu untuk menebar kebaikan, contohnya dengan menulis. Selain itu, mari belajar menjadi sumber informasi dan membuat konten sendiri. Bisa juga bermedia sebagai sumber pendapatan.

Media harus disaring, baru kemudian di-sharing. Sumber informasinya jelas, ada manfaatnya, tidak merugikan orang lain, serta tidak melanggar hukum. Tak lupa, waspada hoax. Cirinya, mencari sensasi, sumbernya tidak jelas, merusak persatuan, serta fakta peristiwa kedaluwarsa.

Bagaimana dengan peran birokrasi modern, terutama para pustakawan? Pustakawan sebaiknya mampu melakukan komunikasi publik efektif yang didukung peran publikasi optimal dengan memanfaatkan kanal pemerintah, baik itu website, berita, media sosial, dan jejaring.

Pustakawan harus melaksanankan kepatuhan pemenuhan informasi publik bagi masyarakat (right to know), menjadi birokrasi yang melayani dengan memisah front office dan back office, membuat standar perilaku pelayanan publik sebagai tata nilai kerja yang dipatuhi bersama, melakukan mitigasi titik rawan penyelenggaraan birokrasi untuk antisipasi krisis organisasi, serta mampu membuat pesan informasi yang berkualitas dengan menulis.

Langkah komunikasi publik yang efektif dapat ditempuh dengan membangun website pemerintah yang informatif, memanfaatkan media sosial untuk mewujudkan ruang dialogis dengan masyarakat, membentuk tim publikasi dan dokumentasi yang terampil, menyusun agenda publikasi yang terukur dan terencana, mengoptimalkan kanal aduan sebagai pintu partisipasi masyarakat, serta menyusun konten dan tulisan terkait kinerja dan respons isu di masyarakat.

Jelaslah bahwa dalam era digital yang banjir informasi seperti sekarang, setiap orang bisa menjadi sumber informasi. Jangan hanya menjadi penonton. Mari bijak bermedia sosial, tidak hanya saat mengakses informasi tapi juga berkomunikasi.

Mari menjaga komunikasi sosial untuk lingkungan sosial yang harmonis.  Hati-hati bermedia sosial. Pastikan ada tujuan dan manfaatnya, bukan sekadar iseng. Buatlah konten atau tulisan yang menginspirasi kebaikan. Bermedia sosiallah dalam keberkahan. Menulislah dalam kebaikan.

Editor: Rahma Frida


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik