

Retja Otonom, Arca Gupala Penegas Jati Diri Klaten
/ Inspirasi
Pada masanya, Retja Otonom dapat menjadi simpul kegotongroyongan warga Klaten.
Sentot Suparna
Founder Lori Gondang Library
Pada era penjanjahan, wilayah Klaten merupakan bagian dari Keraton Kasunanan Surakarta yang disebut Kabupaten Pangreh Praja Klaten. Kala itu, Keraton Kasunanan Surakarta berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja dipimpin oleh seorang Abdi Dalem Keraton berpangkat Tumenggung sebagai Bupati. Dalam waktu bersamaan, Pemerintah Kolonial Belanda juga menempatkan seorang Asisten Residen sebagai pejabat setingkat Bupati. Sistem pemerintahan ini berlangsung sejak tahun 1918 hingga Indonesia merdeka.
Saat awal kemerdekaan Indonesia, ada sebuah kantor di Kota Klaten yang disebut dengan Kantor Otonom. Kantor ini menjadi tonggak sejarah terbentuknya Kabupaten Klaten sebagai daerah otonom. Sebuah daerah yang diberi kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di depan Kantor Otonom pada masanya, ditempatkan sebuah Arca Gupala yang populer di kalangan masyarakat dengan nama ‘Retja Otonom’. Tidak sedikit warga pedesaan yang datang ke Kota Klaten sekeadar hendak menyaksikan arca tersebut. Konon, Arca Gupala sering kali marah-marah, tetapi kali lainnya, suka berjoget dan jalan-jalan keliling kampung.
Seiring waktu, Kantor Otonom beralih fungsi sebagai Rumah Dinas Bupati Klaten hingga sekarang. Demikian pula Retja Otonom kemudian dipindahkan ke alun-alun Klaten hingga tahun 1980-an.
Bagi Pemerintah dan masyarakat Klaten, Retja Otonom bukan hanya memiliki nilai kesejarahan bahkan pernah menjadi maskot Kota Klaten di awal kemerdekaan Indonesia.
Fase kemerdekaan Indonesia sarat dengan dinamika politik, sosial, maupun keamanan dan ketertiban. Etos persatuan dan gotong royong senantiasa dikobarkan dalam menjalankan pemerintahan dan mengatasi permasalahan yang berkembang. Di tengah situasi cancut tali wanda ini, Retja Otonom turut berperan menjadi simbol saiyeg saeka praya pemerintah dan masyarakat Klaten.
Ketika itu, antusiasme masyarakat sering terlontar melalui seloroh dan canda tawa dengan obyek Retja Otonom.
“Ssstt... bicaranya jangan keras-keras. Kalau didengar Retja Otonom, nanti dia marah,” begitu canda sekelompok remaja yang kebetulan lewat di dekat Arca Gupala.
Di warung angkringan pinggir alun-alun, seorang supir becak berseloroh pada teman-temannya, “Retja Otonom itu suka musik, lho. Kalau mendengar lagu Melayu, dia pasti langsung joget.”
“Hei, Bung. Sudah selesai belum, laporanya? Saya bilangin Retja Otonom, baru tahu rasa kau,” tegur seorang pegawai pemerintah pada rekannya.
Bapak Ketua Rukun Warga (RW) atau Rukun Kampung (RK) pun tak ketinggalan. Ia mengingatkan warganya, “Kalau ronda malam, jangan ketiduran, ya. Retja Otonom itu suka keliling kampung, lho. Nanti, dia marah-marah.”
Begitulah. Sedemikian familier figur Retja Otonom di tengah masyarakat. Ada saja ide orang-orang membawa Arca Gupala dalam obrolan mereka. Uniknya, kehadiran Arca Gupala selalu membawa suasana guyub dan grengseng (aktif—red).
Lambang Kemandirian
Retja Otonom pernah ditempatkan di alun-alun Klaten, kurang lebih satu dekade lamanya. Kehadiran Arca Gupala mengisyaratkan pesan bahwa alun-alun bukan sekadar sarana interaksi sosial biasa bagi masyarakat. Ada nuansa ‘tempo doeloe’ yang sungguh terasa. Seolah mengajak khalayak mengeja catatan panjang, rangkaian pengabdian tak berujung sebuah alun-alun untuk kota yang dicintainya.
Sekarang, Retja Otonom ada di pintu gerbang Gedung Sunan Pandanaran, di sebelah barat alun-alun Klaten. Berpuluh tahun berlalu, membawa serta popularitas dan beragam cerita tentang Arca Gupala. Sebagian besar warga Klaten saat ini mengenal Retja Otonom hanya sebagai Arca Gupala penjaga pintu gerbang lingkungan properti milik pemerintah.
Memaknai jati diri Retja Otonom tidak bisa terlepas dari jejak sejarahnya. Arca Gupala itu lahir di tengah semangat Proklamasi Kemerdekaan yang sedang berkobar, sekaligus menandai kebebasan dan kemandirian Kabupaten Klaten sebagai daerah otonom. Kiranya tidak berlebihan, andai generasi penerus memandang Retja Otonom sebagai simbol atau lambang kemandirian Kabupaten Klaten di kancah otonomi daerah.
Kemajuan peradaban sangat penting demi peningkatan kesejahteraan. Namun, abai terhadap jejak peradaban dapat berakibar pada hilangnya jati diri Klaten. Bagi generasi penerus, memandang Retja Otonom bukan sekadar ‘penjaga pintu gerbang’ merupakan representasi sikap yang sepadan.