Delegasi HMI Sukoharjo di Bandara Supadio Pontianak. Dari kiri ke kanan: Nada Firdaus (Kabid Pembinaan Anggota), Syahru Ramadhani (Kabid PAO), Fierdha Abdullah Ali (Ketua Umum), Maulana Nurul Ikhsan (Dept Diklat Anggota), Ziauddin (Sekretaris Umum).
Refleksi Kongres XXXII HMI: Perubahan Organisasi Demi Kepemimpinan Nasional Berkualitas : Delegasi HMI Sukoharjo di Bandara Supadio Pontianak. Dari kiri ke kanan: Nada Firdaus (Kabid Pembinaan Anggota), Syahru Ramadhani (Kabid PAO), Fierdha Abdullah Ali (Ketua Umum), Maulana Nurul Ikhsan (Dept Diklat Anggota), Ziauddin (Sekretaris Umum).
Delegasi HMI Sukoharjo di Bandara Supadio Pontianak. Dari kiri ke kanan: Nada Firdaus (Kabid Pembinaan Anggota), Syahru Ramadhani (Kabid PAO), Fierdha Abdullah Ali (Ketua Umum), Maulana Nurul Ikhsan (Dept Diklat Anggota), Ziauddin (Sekretaris Umum).

Refleksi Kongres XXXII HMI: Perubahan Organisasi Demi Kepemimpinan Nasional Berkualitas

HMI tetap berkomitmen pada perubahan organisasi, demi lahirnya para calon pemimpin nasional yang berkualitas dan pro-rakyat.

Fierdha Abdullah Ali
Ketua Umum HMI Cabang Sukoharjo

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari berbagai daerah baru saja usai mengemban salah satu tugas besar nan sangat vital dalam evolusi HMI. Kongres XXXII HMI yang diselenggarakan di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, menyusul kongres sebelumnya di Surabaya pada 2021, sebagai puncak perubahan kepemimpinan HMI, telah dinyatakan purna.

Kongres menjadi penanda berakhirnya satu periode kepemimpinan Pengurus Besar HMI. Dalam Kongres, delegasi pengurus cabang se-Indonesia berpartisipasi dan mengevaluasi kepimpinanan HMI. Terlepas dari daya tarik yang dimilikinya, Kongres bukan hanya tentang pemilihan Ketua PB HMI yang baru, melainkan juga tentang proses kemunculan gagasan besar untuk organisasi, bangsa, dan negara.

Kongres HMI menjadi wadah refleksi dan pembaruan yang krusial, melampaui sekadar manuver politik intenal seputar kontestasi Ketua Umum. Sebuah tanggung jawab yang tidak hanya diemban pada pengurus dan kader, tetapi amanah para alumni yang pernah berkontribusi dalam sejarah HMI.

Terlebih bagi kader yang belajar pada momentum Kongres-Kongres sebelumnya. Banyak hal yang dapat direkomendasikan untuk bangsa dan negara, sebagai buah dari kaderisasi HMI. Misalnya, Kongres IX HMI di Malang pada tahun 1969 saat Nurcholish Madjid, akrab disapa Cak Nur, terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI.

Kongres Malang menjadi momentum refleksi masalah kebangsaan, dengan membahas isu-isu penting, seperti primordialisme Jawa dan luar Jawa atau perumusan solusi persoalan kebangsaan yang muncul di kongres sebelumnya.

Artinya, harus dipastikan bahwa Kongres HMI, kapan pun dan di mana pun, dapat memberi angin segar dan kontribusi positif bagi rakyat Indonesia. Jika HMI menggunakan sumber daya negara untuk menggelar Kongres maka seharusnya Kongres tidak hanya milik kader HMI, tetapi juga milik seluruh rakyat Indonesia.

Kesadaran intelektual di kalangan kader HMI menjadi kunci terbangunnya ruang-ruang pemikiran bagi gejala-gejala sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan masalah lain yang meresahkan.

Menurut Suharsono dalam bukunya, HMI: Pemikiran & Masa Depan, HMI dianggap sebagai kekuatan intelektual Islam yang memanifestasikan prinsip-prinsip Islam secara intelektual dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. HMI harus aktif hadir di tengah masyarakat untuk memberikan solusi terhadap permasalahan, sesuai dengan tujuan suci HMI, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Dalam konteks ini, Kongres HMI dapat menjadi momentum konsolidasi nasional, serta menghasilkan gagasan-gagasan besar dalam merespons kondisi kebangsaan saat ini.

Ide Perubahan

Jika Kongres HMI diarahkan menjadi titik awal perwujudan masyarakat adil dan makmur, semua peserta diharuskan melepas belenggu politik dalam tubuh HMI. Salah satu belenggu yang dimaksud adalah pemilihan pimpinan HMI berdasarkan afiliasi kelompok, bukan berdasarkan gagasan. Oleh karena itu, sebagai intelektual Muslim, kriteria utama pemimpin HMI yakni berfokus pada kekayaan pemikiran, terutama dalam aspek keislaman dan keindonesiaan.

Dengan landasan tersebut, Kongres HMI merupakan panggung pertarungan gagasan para kader terbaik HMI se-Indonesia. Ini bukan hanya penting untuk menunjukkan urgensi kemampuan intelektual dalam kepemimpinan HMI, tetapi juga tindakan nyata bahwa HMI memprioritaskan politik gagasan daripada politik kelompok.

Fokus utama Kongres HMI haruslah membahas masa depan organisasi, untuk bersumbangsih pada kepemimpinan nasional. Masa depan organisasi adalah teka-teki yang kompleks, tetapi bukan berarti tidak dapat dipersiapkan dengan baik.

Harapannya, HMI tidak hanya menjadi organisasi yang besar, namun tanpa substansi. HMI bukan hanya organisasi dengan banyak anggota, namun tidak mampu memberdayakannya. HMI tetap berkomitmen pada perubahan organisasi, demi lahirnya para calon pemimpin nasional yang berkualitas dan pro-rakyat.

Kongres HMI merupakan jawaban untuk melindungi semua itu. Konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa Kongres HMI adalah forum tertinggi yang memusyawarahkan semua hal terkait HMI, termasuk perkaderan, pemberdayaan kader, lembaga kekaryaan atau badan khusus HMI, Nilai Dasar Perjuangan (NDP), dan aspek lainnya.

Sebagai organisasi besar, mustahil tidak ada kader atau pengurus HMI yang tidak memiliki kritikan atau ide-ide pembaruan terhadap organisasi, lalu berlanjut pada konstelasi kepemimpinan nasional. Kongres Pontianak telah memberikan ruang sebesar-besarnya untuk merenungkan kondisi HMI saat ini dan merumuskan arah gerak HMI ke depan.

Dengan mengarahkan perhatian pada aspek-aspek tersebut, Kongres XXXII HMI dapat menjadi langkah positif menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik