Presiden Joko Widodo saat peresmian fasilitas Mandiri Digipreneur Hub (MDH) di Solo Techno Park Jumat (11/3/2022). (Set Kepresidenan)
Pengangguran Indonesia Didominasi Gen Z, Lantas Bagaimana? : Presiden Joko Widodo saat peresmian fasilitas Mandiri Digipreneur Hub (MDH) di Solo Techno Park Jumat (11/3/2022). (Set Kepresidenan)
Presiden Joko Widodo saat peresmian fasilitas Mandiri Digipreneur Hub (MDH) di Solo Techno Park Jumat (11/3/2022). (Set Kepresidenan)

Pengangguran Indonesia Didominasi Gen Z, Lantas Bagaimana?

Idealnya, penikmat era Indonesia Emas 2045 nanti adalah Gen Z.


Anton A. Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta


Ada yang mengkhawatirkan dari rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2023 yang lalu. Menurut BPS, penduduk berusia 18-24 tahun di Indonesia yang termasuk kategori pengangguran terbuka atau not in employment, education and training (NEET) berjumlah 9.896.019 orang, dengan perincian perempuan sebanyak 5,73 juta dan laki-laki 4,17 juta. Dengan berlatar teori generasi, dapat disimpulkan bahwa jumlah pengangguran terbuka di Indonesia saat ini didominasi oleh kelompok Gen Z.

Data yang lain menyebutkan, dari total jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada bulan Februari 2024 yang mencapai 7,2 juta orang, sejumlah 12 persennya berasal dari lulusan perguruan tinggi, baik sarjana maupun diploma. Berarti ada 864.000 orang sarjana yang menjadi penganggur.

Mengapa Gen Z banyak yang menganggur? Setidaknya ada dua penyebab sulitnya Gen Z dalam mencari kerja.

Pertama, disparitas pendidikan dengan ketrampilan yang diperlukan di dunia kerja. Perkembangan industri saat ini memerlukan SDM dengan keterampilan yang lebih komprehensif. Mereka harus kompeten dalam bidangnya, menguasai teknologi, mampu bekerja mandiri, serta mempunyai inisiatif dan kreativitas. Kemampuan multitasking begitu tidak bisa dihasilkan dari kurikulum pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi sekarang.

Kedua, pertumbuhan lapangan kerja formal yang semakin kecil. Merujuk pada data BPS tahun 2014-2019, sejumlah 8.551.456 orang tenaga kerja terserap di sektor formal. Angka tersebut menurun drastis menjadi 2.006.071 orang pada periode 2019-2024. Pandemi Covid 19 dianggap menjadi penyebab turunnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal Indonesia.

Industri yang bergerak ke arah padat modal dengan munculnya industri berbasis teknologi atau disebut industri 4.0 bahkan industri 5.0 juga dianggap menjadi penyebab penurunan daya serap tenaga kerja sektor formal Indonesia.

Temuan itu memberikan gambaran tentang fenomena ketenagakerjaan dan pengangguran di Indonesia. Padahal, fenomena Gen Z selama ini dianggap unik karena memiliki karakteristik berbeda apabila dibandingkan dengan kelompok generasi sebelumnya, baik kaum Milenial maupun generasi X.

Wajar bila kemudian banyak kekhawatiran lahir, terlebih era Indonesia Emas tahun 2045 nanti telanjur diyakini menjadi momentum kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi global. Karena ternyata menyisakan permasalahan, berupa pengangguran pada kelompok angkatan kerja Gen Z yang seharusnya menikmati Indonesia Emas 2045.

Industri Berbasis Teknologi

Ada kegembiraan dan optimisme saat perusahaan-perusahaan multinasional di bidang teknologi mulai berinvestasi di Indonesia. Masuknya Starlink, perusahaan penyedia komunikasi milik Elon Musk ke Indonesia, menunjukkan iklim investasi yang membaik. Sebelumnya, pada 30 April 2024, Microsoft memberi pengumuman bahwa dalam empat tahun ke depan, perusahaan tersebut akan menginvestasikan US$ 1,7 miliar atau Rp27,6 triliun untuk pengembangan infrastruktur Cloud dan Artificial Intelligent (AI) baru di Indonesia. Mereka juga akan memberikan pelatihan keterampilan AI bagi 840.000 warga Indonesia.

Perusahaan raksasa teknologi lain, yaitu Apple, pun melakukan komitmen investasi baru di Indonesia untuk membangun fasilitas pendidikan Apple Developer Academy dengan nilai investasi sebesar Rp1,6 triliun. Sebelumnya, Apple sudah membagun tiga fasilitas Apple Developer Academy di Batam, Tangerang Selatan, dan Surabaya senilai Rp 1,4 triliun.

Bukan hanya itu, perusahaan teknologi Nvidia berencana untuk membangun pusat kecerdasan buatan di Solo dengan nilai investasi sebesar US$ 200 juta atau Rp3 triliun. Pusat kecerdasan buatan ini akan berwujud infrastruktur telekomunikasi dan pusat pengembangan SDM.

Beberapa investasi lain di sektor pertambangan juga merupakan investasi padat modal, yaitu investasi dengan penggunaan teknologi terbaru dan sumber daya manusia yang kompeten. Lantas apakah investasi padat modal ini dapat menyerap banyak tenaga kerja Indonesia?

Berdasarkan data BPS tahun 2022, ada sekitar 143,73 juta orang angkatan kerja di Indonesia. Tahun 2023, angka itu bertambah menjadi 147,71 juta orang. Pada sisi lain, dari total angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2023, hanya 40 persen yang bekerja di sektor formal, sementara 60 persen bekerja di sektor informal. Data bulan Februari 2024 menunjukkan hanya 58,05 juta orang dari jumlah orang yang bekerja di Indonesia bekerja di sektor formal, sementara sekitar 84,13 juta orang bekerja di sektor informal.

Pertumbuhan sektor informal dianggap tidak memberikan kontribusi pada kesejahteraan pekerja, karena rata-rata pendapatan di sektor tersebut, berdasarkan publikasi ketenagakerjaan BPS pada tahun 2023 hanya sebesar Rp1,9 juta per bulan, sedangkan pendapatan di sektor formal mencapai rata-rata Rp3,1 juta per bulan. Selain itu, tidak ada jaminan sosial kesehatan dan hari tua yang jelas di sektor informal.

Semua itu memberikan gambaran tentang perkembangan teknologi yang mempengaruhi lansekap bisnis, yakni terjadi pergeseran dari sektor industri padat karya menjadi padat modal (teknologi). Hal lain yang juga memperburuk situasi adalah iklim investasi secara umum yang tidak menguntungkan industri padat karya.

Beberapa sektor padat karya selama ini menjadi andalan penyerapan tenaga kerja, namun kini mengalami masalah bahkan cenderung terpuruk. Pertama, sektor industri manufaktur, yaitu tekstil. Kedua, sektor pertanian. Permasalahan pada kedua sektor itu tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.

Jenis Pekerjaan Baru

Pada praktiknya, perkembangan teknologi yang diterapkan dalam bisnis ternyata memunculkan hal negatif lain, yaitu hilangnya beberapa jenis pekerjaan. Itu mengapa sekarang sektor formal, terutama bisnis, mengalami penurunan daya serap tenaga kerja.

Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, sembilan pekerjaan akan berkurang atau hilang pada tahun 2030 nanti. Pekerjaan-pekerjaan tersebut yakni tenaga jasa penyiapan makanan, tenaga administrasi perkantoran, tenaga jasa transportasi, tenaga produksi manufaktur non-otomatis, tenaga kerja bidang konstruksi, pekerja pertanian, nelayan dan kehutanan tradisional, tenaga pemasaran dan bidang terkait, social media manager, serta tenaga pengamanan.

Namun demikian, perkembangan teknologi dalam bisnis juga menghasilkan pekerjaan baru. Beberapa pekerjaan baru sebagai implikasi dari perkembangan teknologi adalah ahli data sains dan analis data, spesialis kecerdasan buatan, pengembang perangkat lunak dan permainan, analis big data, pengembang block chain, ahli market research, pemasar digital, ahli bioteknologi, dan content creator.

Sekarang, beberapa jenis pekerjaan baru sebenarnya mulai muncul. Misalnya, ahli data sains, analis big data, pemasar digital, pengembang block chain, serta ahli riset pasar. Mereka mulai banyak direkrut perusahaan-perusahaan multinasional dan sebagian besar berasal dari Gen Z dan Milenial. Sayangnya, apabila menggunakan ukuran jenis pekerjaan versi BPS, kemungkinan mereka masih termasuk dalam kategori pekerja sektor informal, karena sifat pekerjaannya berdasarkan proyek dan kategori pekerja lepas (outsourcing).

Tipe pekerja atau tenaga profesional di era bisnis digital memang mempunyai karakteristik berbeda, yaitu kompeten, fleksibel, mempunyai inisiatif dan kreatif, serta mandiri. Gen Z Indonesia harus menyesuaikan diri dengan perubahan untuk bisa menikmati era Indonesia Emas 2045.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik