Sidang Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Capres dan Cawapres 2024. (KPU).
Pemilu Asyik Tak Berisik : Sidang Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Capres dan Cawapres 2024. (KPU).
Sidang Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Capres dan Cawapres 2024. (KPU).

Pemilu Asyik Tak Berisik

Dinamika isu politik yang semakin liar menjelang Pemilu 2024 jangan sampai menghilangkan produk politik yang mencerahkan.

Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Surakarta Daily

Pernyataan politik tentu ada motif politiknya. Apalagi jika disampaikan pada masa kampanye menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) seperti sekarang. Dalam beberapa hari terakhir, setidaknya ada dua pernyataan politik populer yang belakangan menjadi sorotan publik.

Pertama, pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang menyebut pemerintahan saat ini sama dengan penguasa Orde Baru. Kedua, pernyataan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak pemindahan ibu kota negara (IKN) meski sudah jadi undang-undang.

Dinamika isu politik yang begitu kompleks tersebut menunjukkan betapa liarnya pergerakan berbagai kalangan menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden 2024. Bahkan hal-hal yang sebelumnya telah diatur dalam undang-undang dan telah menjadi pandangan umum pun bisa menjadi sasaran gugatan atau diperdebatkan.

Mari sedikit membandingkan Indonesia kini dengan saat Orde Baru berkuasa. Adalah kenyataan bahwa masa pemerintahan pasca-Orde Baru masih diwarnai oleh sejumlah masalah. Sejak dimulainya era Reformasi 25 tahun silam, Indonesia belum juga entas dari persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Walaupun demikian, terdapat perubahan kualitas demokrasi, seperti berkurangnya kekuasaan yang terpusat—termasuk praktik korupsi yang kini tidak hanya terjadi di pemerintah pusat—serta kebebasan berekspresi yang nyata, termasuk kebebasan media yang tentunya sulit ditemukan pada masa Orde Baru.

Benar bahwa kemiskinan, pengangguran, dan KKN tetap menjadi masalah besar meski rezim telah berganti orde. Karena memang aktor-aktor politik di pemerintahan masih banyak didominasi produk Orde Baru. Namun, hal-hal seperti desentralisasi, demokratisasi, dan kebebasan pers adalah contoh nyata dari perubahan kualitas demokrasi yang dihasilkan oleh era Reformasi.

Tudingan Megawati tentang pemerintahan era Jokowi yang sama dengan Orde Baru bisa dialamatkan pada kasus Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai Calon Wakil Presiden setelah diputuskan perubahan syaratnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diketahui, Sang Ketua MK yang memutus perkara ini adalah paman Gibran yang juga adik ipar Presiden Jokowi.

Keterlibatan anggota keluarga dalam proses keputusan politik tersebut tentu menimbulkan konflik kepentingan yang bahkan berkepanjangan. Hal itu memunculkan pertanyaan publik seputar etika dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Kesan bahwa keputusan MK telah mengarah pada kepentingan pribadi (baca: keluarga) menjadi kentara, hingga muncul istilah satire, ‘Mahkamah Keluarga’.

Tindakan Ketua MK ini pada gilirannya dinyatakan bersalah oleh Majelis Kehormatan MK, karena dinilai melanggar kode etik. Sebuah keadaan yang semakin menambah kesan bahwa putusan memiliki cacat moral, meskipun putusan MK terkait batas usia Capres dan Cawapres tetap bersifat final dan mengikat menurut hukum. Di tengah kontroversi inilah kemudian opini Megawati mendapat tempat.

Benang merah dari situasi tersebut sesungguhnya adalah sebuah kritik tentang betapa mudahnya konstitusi diubah demi kepentingan tertentu. Karena itulah PKS juga merasa tak berdosa jika harus menolak UU IKN Nusantara bahkan berencana menjadikan penolakan tersebut sebagai bagian dari bahan kampanye partai dan Calon Presiden-Wakil Presiden yang diusungnya, yakni Anies-Muhaimin. Jika konstitusi bisa diubah, apalagi hanya undang-undang, demikian pandangan PKS.

Dinamika politik menjelang 2024 menjadi episentrum perubahan di mana terdapat sejumlah tantangan yang mungkin mempengaruhi kontinuitas pembangunan. IKN pun kini menjadi sasaran kritik dan kampanye negatif oleh partai dan Calon Presiden yang tidak setuju dengan pemindahan ibu kota.

Sebuah fenomena yang bisa saja menimbulkan polarisasi di masyarakat. Namun, polarisasi ini masih lebih maju secara isu dibandingkan polarisasi yang terjadi pada Pilpres 2019 lalu, di mana faktor sentimen lebih dominan.

Hampir setiap Pemilu, tidak ada perbedaan signifikan antara visi Calon Presiden satu dengan lainnya. Bahkan banyaknya partai seolah menampilkan visi yang selalu koheren, yakni soal kemiskinan, lapangan kerja, dan janji-janji surga lainnya. Tak ada perbedaan signifikan bahkan antara partai nasionalis dan religius sekalipun.

Kini kita berharap, kampanye dialogis bisa menghadirkan edukasi dan inovasi ke tengah-tengah masyakarat, sehingga pilihan yang ditetapkan oleh masyarakat merupakan produk politik yang terinformasi. Bukan sekadar kampanye monologis yang disampaikan berulang-ulang, tanpa pertarungan gagasan yang hanya akan menjadi propaganda tidak mendidik.

Semoga proses kampanye tidak hanya menjadi ajang retorika kosong dan saling serang, melainkan dapat menjadi ruang pendidikan politik yang mencerahkan. Dengan demikian, kematangan dan kedewasaan kita sebagai bangsa akan diuji—sekali lagi—melalui ajang Pemilu ini.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik