

Membaca Universalitas dan Tantangan Seni Profetik
/ Opini
Seni profetik dapat membimbing manusia hari ini yang cenderus materialistis menuju nilai-nilai universal yang damai dan membahagiakan.
Wawan Kardiyanto
Akademisi ISI Surakarta
Seni sering ditafsirkan dalam estetika atau keindahan, ungkapan perasaan, imajinasi, dan berbagai hal lainnya. Namun, dalam American Heritage, seni terdiri dari berbagai aspek yang harus ada, di antaranya kepandaian, kecakapan, keahlian, ketangkasan, kemahiran, dan keterampilan (skill). Banyak istilah mengekspresikan kesenian yang berarti indah, elok, bagus, benar, dan sulit diterka. Begitulah ungkapan kesenian dengan berbagai penilaian.
Membahas tentang seni dan perkembangannya tidak terlepas dari sejarah perkembangan pemikiran, mulai dari estetika hingga filsafat seni; sejak zaman Yunani hingga masa sekarang. Seni dideskripsikan dalam sebuah paradigma terkait konsep atau teori seni yang telah mengalami perkembangan tak tentu arah.
Dalam rekam historis tentang seni, porsi penganutnya mulai terimpit oleh perkembangan konsep dan teori seni tanpa tujuan pasca abad ke-20. Kala itu sering kita mendengar istilah populer, L’art pour L’art, tentang seni tanpa tujuan. Istilah itu pertama kali didengungkan oleh seorang filsuf bernama Victor Cousin (1792-1867).
Menurut Victor, seni merupakan deklarasi artistik yang independen sebagai suatu tanggung jawab profesional. Seniman ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari kepentingan masyarakat. Tujuan seni senyatanya hanya untuk seni; tidak mengabdi kepada kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan agama. Pandangan tersebut dinilai sebagai suatu reaksi terhadap kondisi waktu itu dengan dalih mengembalikan kemurnian status seni.
Di sisi lain, nilai seni mendapat sorotan perhatian, seperti Fathul A. Husein (2000) dalam artikelnya berjudul ‘Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur’. Ia menulis, pada permulaan abad ke-20, estetikus Italia, Benedetto Croce, diyakini banyak kalangan sebagai pemula yang memudarkan nilai-nilai keindahan sebagai tujuan akhir seni sebagai topik sentral dalam teori estetika sejak zaman Yunani hingga Idealisme Eropa pada abad ke-19.
Croce, sambung Fathul, berusaha menggeser konsepsi keindahan dengan konsep ekspresi, mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan pengalaman estetik berasal dari formula ganda, seni setara dengan ekspresi dan juga setara dengan intuisi, dan bahwa keindahan tidak lebih dari ekspresi yang berhasil, karena ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi. Atau menurut Melvin Rader, keindahan tiada lain dari esensi yang berhasil diungkapkan.
Dari sejarah kita bisa mengambil banyak makna, pemahaman, dan pengetahuan basis tentang seni. Mulai dari definisi dan perspektifnya, seni menjadi pembahasan yang menarik untuk disorot. Seni mengandung kebebasan pemaknaan. Kebebasan dalam mengekspresikan makna membuat banyak orang merelevansikannya dengan perilaku yang baik, bermoral, tidak dalam perilaku negatif atau buruk. Dari situlah banyak orang yang kemudian menyentuh kesenian dengan ekspresi dakwah agama.
Seni mampu membentuk sikap alamiah seseorang, yakni merasakan keindahan dan kedamaian, pikiran, dan hati. Seni bukanlah suatu alat untuk mencapai tujuan tertentu. Jika penafsiran tersebut disepakati tentulah para seniman bisa berhenti berkarya jika pesan-pesan moral telah tersampaikan kepada penikmat karyanya.
Di sini, dunia seni dan seniman terbagi dalam dua kubu. Pertama, seni bernilai. Kedua, seni tanpa nilai yang lahir pada awal abad ke-20 dan berhasil menggeser seni bernilai. Seni bernilai filsafat, misalnya, yang lebih mengarah pada estetika hingga ke estetika absolut (Tuhan) diberangus oleh konsep seni tanpa nilai.
Seni tanpa nilai juga mengubur tujuan seni awal, yaitu estetika, yang lantas berganti dengan ekspresi bebas semata. Tentang seni tanpa nilai, sekarang mulai banyak dianut oleh mayoritas seniman di dunia.
Seni banyak dipandang pula sebagai bebas nilai. Artinya ia tidak memiliki pesan khusus; tidak pula menyampaikan pesan moral, sosial, dan filosofi. Fokus dari seni ini pada aspek estetika, yaitu ekspresi jiwa yang tidak terikat dengan batasan nilai-nilai tertentu. Hal tersebut memungkinkan para seniman untuk mengeksplorasi kreativitas dan membebaskan para penikmatnya untuk menafsirkan sendiri pesan apa yang terkandung di dalamnya.
Jadi, jika menemukan para penikmat seni mendefinisikan hasil karya seni dengan perspektif yang beragam, apakah itu baik atau buruk, semua itu karena seni dipandang sebagai bebas nilai.
Universalitas Seni Profetik
Kuntowijoyo menyatakan bahwa kesenian terdiri dari tiga unsur, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi, atau dikenal dengan visi profetik yang mencakup tugas kenabian dan kemanusiaan. Ketiga unsur profetik tersebut sangat urgen dan mewarnai kehidupan manusia.
Pembahasan tentang seni tidak jauh dari konteks seni budaya serta peradaban manusia yang demikian kompleks dan beragam. Peradaban yang terus berkembang menunjukkan adanya kemajuan. Begitu pun dengan seni. Kita bisa melihat keindahannya melalui musik, teater, sastra, ukiran, arsitektur, dan lainnya.
Selanjutnya, mari mengenal apa itu istilah ‘profetik’. Kita akan terkoneksi dengan definisinya, yaitu ciri yang dimiliki Nabi sebagai cerminan spirit untuk gerakan revolusi sosial. Nabi Muhammad SAW mempraktikkannya dengan membimbing orang miskin untuk bangun dari ketertindasan atau kehidupan yang penuh ketidakadilan.
Nabi mengajarkan zikir dan doa kebaikan serta menyerukan ideologi pembebasan kepada umat manusia. Hal ini menggambarkan bahwa profetik senyatanya berupaya memberikan keseimbangan antara kemanusiaan dan ketuhanan menjalankan amar makruf nahi mungkar. Spirit menjadi insan kamil melalui budaya yang mengandung nilai seni yang beragam.
Peradaban modern seperti sekarang rupanya menuai respons yang beragam dari kalangan masyarakat. Ada yang menyukai modernitas, ada pula yang mulai jenuh dengan pernak-pernik keramaian yang ada. Mereka tidak puas dengan materialisme. Konflik-konflik mulai muncul, emosi manusia menjadi sulit terkontrol, fakta-fakta kasus mengindikasikan tata nilai kehidupan era sekarang mulai jauh atau menghilangkan prinsip normatifnya.
Lebih dalam, mari mengkaji seni profetik. Kita mengenalnya sebagai kemampuan seseorang yang memiliki wawasan mendalam dengan tingkat pemahaman yang cukup tinggi dalam melihat masa depan dan peristiwa di masa mendatang, serta memberikan petunjuk terhadap berbagai kemungkinan. Dari perjalanan sejarah sebagaimana yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, kita bisa memahami bagaimana nilai seni profetik senyatanya ingin mengembalikan filosofi seni ke khittah seni pada masa awal Yunani-Romawi.
Sebagian besar memandang bahwa kesenian mampu mendatangkan berbagai kebaikan bagi seluruh alam. Hal ini dipahami karena kesenian profetik bersifat universal. Dalam bentuknya, kesenian profetik tidak hanya terbatas pada model seni Islami. Ia mampu beradaptasi dengan bentuk seni kontemporer era sekarang dan budaya.
Irish Murdoch menyatakan bahwa karya seni yang bagus adalah karya yang bersifat membebaskan dan memungkinkan kita bahagia, senang, dan menemukan kepuasan bila melihatnya. Hal ini berlaku pula bagi karya seni apa pun, baik lukisan, sastra melalui tulisan, ukiran, arsitektur, musik, dan lainnya. Rasanya, mengembalikan definisi seni menuju puncak filsafatnya adalah keindahan yang mutlak, yakni keindahan Tuhan.
Jadi, untuk melihat kreativitas seni bisa dalam berbagai bentuk. Ini sama halnya dengan melestarikan nilai-nilai Islam. Namun, yang penting diperhatikan bagi seniman, yaitu menghadirkan dan mengekspresikan ruh pada setiap karya seninya. Hal itu bisa menjadi peluang untuk dikembangkan. Menemukan suatu hal kebaruan dan rasanya tetap tersampaikan kepada audiensi.
Tantangan Pesan Kebaikan
Sejauh ini, hadir pula tantangan seni profetik yang harus dihadapi oleh para seniman. Pada tantangan pertama, muncul pandangan yang menyatakan bahwa seni kontemporer cenderung bersifat syubhat. Respons tersebut secara tidak langsung melahirkan ketakutan bagi seniman Muslim untuk mengoptimalkan kreativitasnya. Seperti pertunjukan wayang kulit yang ditaksir sebagai seni agama selain Islam.
Meski begitu, budaya tersebut melalui lakon wayang kulit rupanya bisa diubah alur cerita dan konsep pertunjukannya dengan menggunakan cerita-cerita dan nilai islami, seperti yang dipraktikkan oleh Wali Songo yang mendakwahkan Islam kepada masyarakat luas. Kesenian yang unik memikat hati orang lain untuk terlibat.
Tantangan kedua, kemampuan seniman. Kreativitas para seniman memiliki tingkat keunikan yang variatif. Hal itu hanya bisa dirasakan atau ditemukan oleh para penikmat sendiri. Pesan yang ditampilkan dari produk kesenian adalah ekspresi ruh yang dihadirkan oleh para seniman.
Film-film, teater, dan berbagai pertunjukan atau karya seni lain memvisualisasikan nilai-nilai keunikan yang berbeda. Namun, banyak kesulitan yang banyak dialami oleh para seniman itu sendiri adalah mereaktualisasikan karya seni sesuai dengan konteks tujuan untuk menyiasati perubahan yang terjadi.
Ketiga, ketidakstabilan masa depan. Tidak ada yang bisa menebak arahnya akan seperti apa. Namun, perubahan terus bergerak dan cepat berkembang, seiring dengan perkembangan pola pikir manusia dan wawasannya.
Keempat, terlepas dari model paradigma lama yang tidak relevan dengan saat ini. Para seniman tentu harus mempertimbangkan banyak hal agar menerapkan strategi-strategi yang lebih efektif dan relevan.
Ada banyak kemungkinan pertentangan dan bahkan perubahan-perubahan yang terjadi. Namun, seni profetik sendiri merupakan keahlian para seniman untuk terus menyuarakan kedamaian serta kebahagiaan dalam bentuk karya yang terus abadi dan menginspirasi.
Berbagai tantangan tersebut merupakan potret bagaimana para seniman berupaya menyiasati agar karya seni mereka tetap eksis dan selalu hadir dengan pesan-pesan kebaikan dan keindahan. Sudah sejak lama, kesenian merupakan salah satu media efektif untuk mendakwahkan nilai Islam atau pesan-pesan moral kepada para penikmatnya. Ini menggambarkan bahwa nilai-nilai profetik Islam bersifat universal serta tidak membedakan ruang dan waktu.
Menelaah tentang seni profetik tak ubahnya membahas kemampuan seseorang yang berupaya membaca trend dan memberikan petunjuk atas kemungkinan yang terjadi di masa depan. Estetika dalam seni merupakan gambaran keindahan yang bisa dirasakan oleh penikmatnya meski dalam bentuk tampilan karya yang beragam.
Kesenian harus terus dihidupkan dari masa ke masa meskipun dalam perjalannya banyak tantangan yang harus dihadapi. Keberhasilan membaca peluang merupakan bagian keberhasilan penaklukan tantangan bagi para seniman.
Tantangan-tantangan seni profetik menyiratkan bagaimana kesenian harus terus dihidupkan oleh para seniman melalui karyanya yang menginspirasi dan tentunya bebas nilai. Terus eksis menginspirasi para penikmatnya dan memberikan pesan dan wawasan serta nilai-nilai spiritual, isu sosial, kritik, dan lainnya. Hal yang harus kita pahami bahwa senyatanya karya seni dapat menjadi profetik tergantung dari sudut pandang individu dan konteks.