

Ketidakpastian Ekonomi 2025, Kesejahteraan Rakyat Tetaplah Prioritas
/ Opini
Prospek ekonomi Indonesia tahun 2025 sangat dipengaruhi oleh beban yang ditinggalkan pemerintah sebelumnya.
Anton A. Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tahun 2024 segera berakhir. Meski harus melampaui berbagai peristiwa yang menguras pikiran, tenaga, dan emosi, hasil dari tahun politik ini bisa dibilang sesuai harapan. Pemilihan Umum dapat terselenggara dan menghasilkan pemerintah pilihan rakyat, serta tidak menyebabkan konflik politik berkepanjangan.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presoden Gibran Rakabuming Raka berusaha menciptakan pemerintahan yang stabil dengan melibatkan semua elemen politik di dalam kabinet. Hal ini penting untuk menghadapi ketidakpastian yang bersumber dari kondisi perekonomian dan geopolitik global maupun perekonomian nasional yang stagnan.
International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2024 dan 2025 stabil di angka 3,2 persen. Sementara Goldman Sachs memperkirakan pertumbuhan ekonomi global lebih rendah di angka 2,7 persen. Kenaikan pertumbuhan ekonomi global tersebut terjadi akibat pemulihan pasca-pandemi. Inflasi global bisa dikendalikan dan diperkirakan pada tahun 2025, hanya mencapai 3,5 persen. Angka ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi.
Di balik angka pertumbuhan ekonomi global yang stabil, pergeseran konsumsi dari barang menjadi jasa sedang berlangsung. Hal ini meningkatkan aktivitas di pasar jasa, tetapi memperlambat aktivitas pada industri pengolahan. Aktivitas industri pengolahan pun semakin bergeser ke kawasan emerging markets, terutama India dan Tiongkok.
Beberapa gangguan yang bisa dialami perekonomian global tahun depan adalah ancaman konflik geopolitik, kebijakan moneter ketat di beberapa negara yang diberlakukan dalam jangka panjang, beban hutang luar negeri yang menyebabkan ketidakstabilan di sektor keuangan, serta pelambatan ekonomi di Tiongkok yang terus berlanjut. Selain itu, kemungkinan kebijakan proteksionisme yang diterapkan Amerika Serikat menyusul kemenangan Donald Trump, yakni ancaman tarif 100 persen untuk negara-negara anggota BRICS.
Bagaimana dengan perekonomian Indonesia tahun 2024? Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 5 persen pada akhir tahun ini.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan pada tahun 2025 perekonomian Indonesia stagnan dengan angka pertumbuhan ekonomi tetap berada di kisaran 5 persen, sedangkan perkiraan Bank Indonesia menyebut angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dan 2026 antara 4,9-5,5 persen.
Selanjutnya, INDEF memperkirakan inflasi di Indonesia pada tahun 2025 mencapai 2,8 persen, nilai tukar Rupiah Rp 16.100, angka pengangguran terbuka mencapai 4,75 persen, serta angka kemiskinan 8,8 persen.
Beban Masa Lalu
Pemerintah Prabowo-Gibran mempunyai target ambisius untuk mengejar pertumbuhan ekonomi hingga menembus angka 8 persen pada masa pemerintahan mereka. Hal ini bisa dimengerti karena pertumbuhan ekonomi 5 persen tidak cukup bisa mengatasi masalah struktural, yaitu pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kesejahteraan di Indonesia. Terlebih Pemerintahan Prabowo-Gibran ditakdirkan mewarisi beban peninggalan pemerintahan sebelumnya yang tidak mudah untuk diselesaikan.
Pertama, beban fiskal. Beban fiskal pertama adalah kenaikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2014, rasio utang terhadap PDB tercatat 24,7 persen. Angka ini meningkat menjadi 39,13 persen pada tahun 2024. Pada sisi lain, rasio pajak justru menurun dari 13,7 persen pada tahun 2014 menjadi 10,1 persen pada tahun 2024. Beban fiskal berikutnya yakni defisit APBN yang meningkat, dari Rp266,9 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp609,75 triliun pada tahun 2024.
Kedua, kesenjangan kesejahteraan. Masalah kesenjangan kesejahteraan sampai sekarang belum terselesaikan. Indeks Gini Ratio Indonesia mencapai 0,39 persen. Selain itu, Indeks Oligarki atau Material Power Index juga mencerminkan ketimpangan yang parah. Indeks tersebut menjumlahkan pendapatan 40 orang terkaya di sebuah negara, lalu dibagi dengan pendapatan per kapita masyarakat di negara tersebut. Bersumber dari data Forbes, tahun 2014, indeks Oligarki Indonesia 678.000 kali. Tahun 2018, naik menjadi 750.000 kali. Pada tahun 2020, naik kembali menjadi 822.000 kali. Pada 2022, indeks ini naik menjadi 1.006.500 kali.
Ketiga, kondisi de-industrialisasi. Gejala de-industrialisasi sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan 2004. Secara umum, gejala de-industrialisasi ditandai dengan penurunan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB dan pertumbuhan industri pengolahan yang terus turun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sebesar 21.08 persen. Lima tahun berlalu, tepatnya tahun 2019, angka ini turun menjadi 19,7 persen. Selanjutnya, tahun 2023, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB menjadi 18,67 persen.
Pada sisi lain, sektor pertambangan dan penggalian terus mengalami kenaikan kontribusi pada PDB. Tahun 2014, sektor ini menyumbang 9,83 persen dan meningkat menjadi 12,22 persen pada tahun 2022, kemudian turun tipis di angka 10,52 persen pada tahun 2023. Penyumbang sektor pertambangan dan penggalian adalah batubara dan nikel.
Sektor industri pengolahan dinilai banyak kalangan lebih strategis serta memberikan efek berganda yang lebih besar, karena adanya pertambahan nilai (value added) yang lebih besar, terutama dari sisi penciptaan lapangan kerja.
Sementara industri tekstil, karena melemahnya daya saing, berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif di Indonesia, sedari Januari hingga Agustus 2024.
Prospek Ekonomi 2025
Perekonomian tahun 2025 diperkirakan menjadi periode yang penuh tantangan dan memerlukan kerja keras pelaku bisnis serta para pengambil kebijakan. Beban fiskal pemerintah yang semakin berat karena harus menaikkan rasio pajak dan mengatasi hutang pemerintah mengharuskan pengelolaan APBN secara konservatif, sehingga ruang fiskal untuk memberikan stimulus bagi perekonomian semakin sempit.
Pada sisi lain, para pelaku bisnis harus memutar otak untuk beradaptasi di tengah ancaman naiknya biaya produksi. Salah satunya, dengan melakukan penyesuaian harga. Biaya produksi naik karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk beberapa barang dan jasa tertentu yang termasuk kategori premium.
Para pelaku bisnis juga harus mengantisipasi kenaikan biaya produksi, karena kenaikan Upah Minimum sebesar 6,5 persen pada tahun 2025. Kenaikan Upah Minimum memang diperlukan untuk membantu pekerja sektor formal. Namun, di tengah kondisi pelambatan ekonomi, terkhusus sektor manufaktur, kenaikan Upah Minimum bisa jadi memberatkan para pengusaha.
Melemahnya daya saing sektor industri manufaktur, terutama tekstil, perlu segera diatasi. Pada bulan Januari-Agustus 2024, sejumlah 46.240 pekerja kehilangan pekerjaan. Sebagian besar berasal dari pekerja di industri tekstil. Angka itu bisa bertambah pada tahun 2025 apabila tidak ada kebijakan yang tepat untuk mengatasinya.
Tahun 2025 adalah tahun penuh tantangan, karena pada saat pemerintahan baru sedang dalam masa transisi, kondisi ekonomi juga mengalami stagnasi. Pemerintah telah menyusun kebijakan untuk mengatasi masalah struktural dalam perekonomian Indonesia. Prioritas kebijakan dengan memperkuat daya saing industri, menciptakan ketahanan pangan dan diversifikasi energi, melaksanakan hilirisasi komoditas-komoditas yang strategis adalah kebijakan yang tepat.
Rakyat Indonesia menunggu pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut hingga level operasional, sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Berhadapan dengan ketidakpastian ekonomi Indonesia pada tahun 2025, kesejahteraan rakyat tetaplah prioritas utama.
Editor: Rahma Frida