Imron Rosyadi menjadi pembicara dalam Surakartanesia #002 bertema 'Indonesianomika'. (Surakarta Daily/Dewa)
Imron Rosyadi: Kebijakan Makro-Ekonomi Pemerintah Belum Representatif : Imron Rosyadi menjadi pembicara dalam Surakartanesia #002 bertema 'Indonesianomika'. (Surakarta Daily/Dewa)
Imron Rosyadi menjadi pembicara dalam Surakartanesia #002 bertema 'Indonesianomika'. (Surakarta Daily/Dewa)

Imron Rosyadi: Kebijakan Makro-Ekonomi Pemerintah Belum Representatif

Angka pertumbuhan, inflasi, dan nilai tukar rupiah yang dibangga-banggakan pemerintah harus berdasarkan pada data yang tidak berpihak.


PABELAN, Kartasura | Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Imron Rosyadi, menyoroti klaim keberhasilan pemerintah dalam membangun perekonomian nasional.

Tiga hal yang dianggap berhasil oleh pemerintah dalam bidang ekonomi, yakni pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas pertumbuhan ekonomi global, nilai inflasi, dan posisi nilai tukar rupiah.

“Pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,6 persen. Sementara Indonesia menurut BPS 4,95 persen. Ini yang dibangga-banggakan, karena berhasil di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia,” kata Imron dalam Diskusi Pra-Debat Capres-Cawapres Kedua yang digelar Surakarta Daily bersama Pascasarjana UMS, Senin (18/12/2023).

Menurutnya, pemerintah selalu mengandalkan pengendalian inflasi yang diklaim cukup rendah, dengan target 3,01 persen. Karena mampu mengendalikan inflasi, eksesnya, konsumen masih mampu membeli komoditas.

“Tapi, di lapangan, banyak sekali kelompok tertentu atau masyarakat berpendapatan rendah yang jumlahnya sekitar 40 persen dari total populasi. Cukup tinggi sebenarnya. Kalau disurvei langsung, kondisi sekarang lebih berat dari masa lalu,” ujar Imron.

Terkait inflasi, ia berpendapat, pemerintah sering kali mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat, misalnya menaikkan BBM secara diam-diam, atau menaikkan harga solar, padahal sangat dibutuhkan kalangan nelayan.

“Kenaikan BBM secara diam-diam untuk menghindari protes publik harus dihindari. Pemerintah mestinya mengambil kebijakan yang terbuka bagi masyarakat. Jangan tertutup agar ada koreksi,” katanya.

Ia menerangkan, bila dilihat dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang diperoleh dari survei Bank Indonesia (BI), dengan inflasi 2,6 persen, masih cukup berat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini dialami, misalnya, untuk memenuhi kebutuhan akan beras yang saat ini masih impor.

Problem Ketergantungan Impor

Selanjutnya, persoalan posisi nilai rupiah terhadap mata uang global atau dolar AS. Pemerintah menyatakan bisa mengendalikan posisi rupiah sehingga tidak sampai tembus Rp16 ribu.

Kalau rupiah sampai akhir Desember mencapai  Rp16 ribu, Imron memperkirakan harga beras makin tak terjangkau rakyat. Nilai rupiah yang makin tertekan di satu sisi, sementara ketergantungan impor pangan yang tinggi di sisi lain.

“Dari 10 bahan sayuran itu, 6 di antaranya kita impor. Artinya, harga pangan impor sangat rentan, karena fluktuasi rupiah ini menyangkut dengan cadangan devisa yang dimiliki saat ini,” ungkapnya.

Imron berpandangan, diperlukan kejujuran data yang tidak boleh berpihak, sekaligus benar-benar merepresentasi situasi lapangan.

“Saya orang yang tidak percaya inflasi 2,6 persen tadi. Karena sebenarnya, kalau melihat kenaikan harga komoditas pokok, lebih dari itu (inflasi). Kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah saya kira belum sepenuhnya berpihak rakyat,” jelas Imron.

Dalam situasi politik kekinian dengan akan digelarnya Pemilu 2024 maka persoalan ekonomi yang berhubungan erat dengan kebutuhan rakyat, semestinya menjadi perhatian besar bagi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik