

Algoritma Digital, Hisab yang Kita Bangun Sendiri
/ Opini
Catatan amal baik dan buruk dengan rela kita serahkan kepada perusahaan-perusahaan teknologi raksasa.
Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Surakarta Daily
Mereka tidak akan mengucapkan satu kata pun melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat. (QS Qaf: 18)
Bayangkan, sebuah dunia di mana setiap gerak-gerik manusia dicatat. Setiap kata yang diucapkan, direkam. Setiap tindakan, dinilai. Dunia itu bukan sekadar kisah fiksi eskatologi, tetapi realitas yang kita jalani hari ini.
Dulu, kita membayangkan Raqib dan Atid sebagai dua malaikat yang mencatat amal baik dan buruk kita dalam buku gaib. Kini, peran itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih kasat mata, yakni algoritma digital. Tidak ada yang bisa disembunyikan darinya. Tidak ada yang bisa dihapus. Tidak ada yang bisa mengelak dari hisab digital yang kita bangun sendiri.
Seorang pria dipecat karena cuitannya sepuluh tahun yang lalu. Seorang influencer jatuh dari kejayaan akibat video lamanya yang kembali viral. Seorang pegawai kehilangan pekerjaannya, karena berkomentar di media sosial yang dianggap ofensif. Ini bukan cerita fiksi, melainkan bukti bahwa jejak digital kita adalah catatan amal yang dapat kembali menghantui kita, kapan saja.
Kita sadar bahwa dunia digital ternyata punya pengawasan yang sangat tajam. Setiap unggahan, komentar, dan klik direkam oleh sistem yang tak pernah tidur. Google tahu, apa yang kita cari. Facebook tahu, apa yang kita suka. TikTok tahu, seberapa lama mata kita terpaku pada sebuah video.
Lebih mengerikan lagi, algoritma tidak sekadar mencatat, tetapi juga menilai dan menghakimi. Konten yang dianggap menarik akan diangkat. Konten yang kontroversial ditandai. Mereka yang dianggap berbahaya akan dihukum dengan berbagai bentuk sanksi digital, mulai dari ban, shadowban, hingga cancel culture.
Sering kita jumpai fenomena sosial di mana seseorang dijatuhi hukuman oleh opini publik, berujung pada boikot, pengucilan sosial, bahkan kehilangan pekerjaan. Di dunia digital, penghakiman tidak menunggu kiamat. Ia terjadi sekarang, saat ini juga.
Dulu, manusia mengira amal perbuatan mereka hanya dicatat dalam Kitab Besar yang akan dibuka di Hari Pembalasan. Kini, mereka secara sukarela mencatat sendiri setiap perbuatan mereka. Benar-benar tanpa paksaan. Mereka mengarsipkan hidup mereka dalam teks, gambar, dan video yang tersimpan di Cloud, server teknologi, dan berbagai sudut internet.
Pada era kamera analog, dengan pita film terbatas dan rol foto yang hanya bisa menyimpan 24 atau 36 gambar, mustahil membayangkan bahwa suatu hari nanti kita bisa mendokumentasikan hidup tanpa batasan. Kini, setiap langkah terekam dalam ribuan gambar dan video, tanpa perlu memikirkan biaya cetak atau keterbatasan penyimpanan.
Malaikat pencatat itu tak lagi sekadar entitas gaib. Mereka telah bertransformasi menjadi algoritma yang mengawasi tanpa henti. Setiap pencarian Google, setiap likes di media sosial, setiap transaksi di e-commerce; semua menjadi bagian dari jejak digital yang mustahil terhapus sepenuhnya.
Lebih dari sekadar kumpulan data, jejak ini memiliki konsekuensi sosial. Di era modern, ‘kitab amal’ tersebut bisa dibuka kapan saja, bahkan sebelum kematian tiba.
Inilah cancel culture di mana kesalahan masa lalu bisa kembali menghantui kapan saja. Bedanya, penghakiman sekarang tidak datang dari entitas metafisika, melainkan dari publik yang tak kenal ampun.
Bisakah Kita Kabur?
Pada era di mana jejak digital menjadi bagian dari ‘takdir’ kita, ada dua jalan yang bisa dipilih, yakni mengontrol narasi kita sendiri atau menghilang sepenuhnya.
Beberapa orang memilih jalan pertama. Mereka mengelola persona digital dengan cermat serta memastikan setiap unggahan mencerminkan citra yang mereka inginkan. Mereka yang paham algoritma tahu bahwa jejak digital bisa dikendalikan, bukan hanya ditinggalkan.
Namun, sebagian lain memilih jalan kedua, yaitu dengan ‘membunuh’ eksistensi digital mereka. Mereka menghapus akun media sosial, menggunakan VPN, dan menolak meninggalkan jejak di internet.
Tapi, bisakah kita benar-benar kabur dari sistem yang terus mengawasi? Bahkan jika kita berhenti menggunakan media sosial, kita tetap menjadi bagian dari sistem. Wajah kita terekam di CCTV jalanan, data kita tersimpan dalam sistem perbankan, dan riwayat pencarian kita tetap tersimpan dalam server perusahaan teknologi raksasa.
Hisab digital bukan sekadar ramalan eskatologi atas penafsiran kita terhadap Kitab Suci. Ia adalah kenyataan yang telah kita bangun sendiri. Kita yang setuju memberikan data kita kepada platform gratis. Kita yang rela ditelanjangi oleh algoritma demi konten yang lebih personalized. Kita yang secara sukarela menyerahkan privasi kita ke tangan perusahaan teknologi.
Dulu kita bertanya, “Bagaimana malaikat bisa mencatat semua perbuatan kita?” Sekarang, pertanyaannya berubah menjadi, “Bisakah kita hidup tanpa diawasi?” Jawabannya, “Tidak!”
Selamat datang pada era di mana pengawasan tak lagi dipahami gaib dan tak kasat mata. Pengawasan itu ada di dalam server, algoritma, serta setiap klik dan swipe yang kita lakukan. Hisab digitalmu telah dimulai.
Editor: Herlina